Warta

System Yang Akuntabel Syarat Pembangunan Demokrasi

NU Online  ·  Selasa, 30 Desember 2003 | 15:30 WIB

Jakarta, NU.Online
Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) E Shobirin Nadj mengatakan prasyarat untuk menegakan demokrasi di Indonesia adalah tegaknya sebuah system yang akuntabel serta tersedianya ruang partisipasi publik untuk mengontrol negara.

"System yang akuntabel perlu dibentuk untuk mengikis apatisme publik yang hampir kehilangan kepercayaan kepada lembaga-lembaga negara, Karena suatu apatisme akibat ketidakpercayaan publik terhadap institusi-institusi formal politik yang ada dapat menyebabakan lemahnya penataan pelembagaan demokrasi," demikian paparnya dalam Talk Show Akhir Tahun, Cara Cerdas Memilih Politisi Sehat, yang di gelar Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Hotel Alia, Selasa (30/12)

<>

Lebih jauh Sobirin mengatakan ketidakpercayaan publik ini merupakan akumulasi dari berbagai inkonsistensi yang tampak selama periode yang disebut reformasi ini. Kesan bahwa para tokoh reformis sangat jauh dari cita-cita awal reformasi itu bahkan telah sampai ke dalam kesadaran masyarakat bawah. Hal ini dikatakannya berkaitan dengan masih adanya sinisme terhadap lembaga perwakilan rakyat, kecaman terhadap sistem peradilan, antipati terhadap partai politik, delegitimasi terhadap pemerintahan, yang semua kondisi itu  masih bertahan sepanjang tahun 2003.

Oleh karena itu dalam pemilu mendatang harus disediakan cukup ruang agar para politisi lama yang memiliki track record buruk tak kembali dalam kancah politik, apalagi hajatan pemilu 2004 semakin dekat, karena belajar dari pengalaman pemilu tahun 99 lalu yang katanya demokratis tapi sebetulnya, lanjut Enceng hanyalah sebuah reinkarnasi politisi lama dalam membangun legitimasi baru untuk tampil dihadapan publik.

Dari itu bangsa ini membutuhkan demokrasi dan suasana partisipatif publik yang optimal. "Demokrasi hanya dapat dipertahankan oleh dinamika politik yang sehat dari warganegara. Demokrasi memerlukan kritisisme, bukan apatisme. Bagi kita yang sedang berupaya menyelamatkan demokrasi dari kemungkinan pembalikan arah," ungkapnya.

Namun dirinya juga menyadari akar persoalannya tentu tidak pada apatisme dari masyarakat itu sendiri. Tetapi yang lebih utama adalah sikap masabodoh dari elit politik dalam menghadapi situasi serba mandeg dalam menegakan demokrasi. Dan parahnya seakan-akan apatisme publik itu dapat diatasi dengan politik kekuasaan semata atau digairahkan dengan politik uang pada Pemilu nanti. Masalah dan sekaligus solusinya adalah rakyat memerlukan pendidikan politik sebagai dasar bagi partisipasinya dalam Pemilu. Bila kita ingin melihat sebuah pemilihan umum yang berkualitas, maka partisipasi politik yang dipersiapkan dari sekarang adalah suatu kebutuhan esensil. Lain halnya bila kita sekadar hendak menjalankan Pemilu dengan metode mobilisasi seperti pada waktu-waktu yang lalu, demikian paparnya (cih)


Â