Warta

Suhermanto : Penutupan Lokalisasi Dolly Perlu Langkah Bijak

NU Online  ·  Ahad, 7 Agustus 2011 | 02:56 WIB

Surabaya, NU Online
Rencana penutupan lokalisasi (pelacuran) Dolly yang sempat disuarakan oleh banyak kalangan terutama dari kalangan Ormas keagamaan pada tahun lalu, hingga kini tampaknya belum terealisir. Dolly yang merupakan kompleks pelacuran terbesar se Asia Tenggara itu hingga kini masih beroperasi, meski selama sebulan Ramadhan ini masih (di)libur(kan).

Dosen IAIN Sunan Ampel Drs Suhermanto Ja’far, M.Hum menilai, rencana tersebut merupakan renacana cukup mulia yang harus segera direalisasikan. Namun, menurut Suhermanto, pelacuran (Dolly) merupakan persoalan yang cukup kompleks.
<>
“Persoalan Dolly itu sangat kompleks. Rencana penutupan Dolly oleh sekelompok tertentu hanya semata karena haram itu alasan kurang “merakyat” yang tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak tahu sejarah,” ujarnya kepada NU Online di Surabaya, Sabtu (06/08).

Mantan pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jatim ini menuturkan, dunia pelacuran sudah ada setua umur manusia. Di dunia ini, di hampir semua negara, semua kota dan bahkan di semua desa terpencil sekalipun, pelacuran selalu ada. Begitu pula Surabaya.

Pelacuran merupakan patologi sosial. Para pelacur merupakan penyakit masyarakat yang perlu dimusnahkan. Namun persoalannya, kata mantan Wakil Ketua PKC PMII Jatim ini, pelacur merupakan problem dunia. Persoalan pelacuran sangat kompleks, tidak hanya menyangkut seks, tapi juga ekonomi, budaya dan politik.

Suhermanto menilai, pelacuran (Dolly) merupakan problem sosial tersendiri. Satu sisi pelacuran dilarang oleh agama, pada sisi yang lain pelacuran menjadi aset ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, pejabat, baik lurah, kecamatan sampai kota. Bahkan banyak masyarakat bawah yang dihidupi secara ekonomi dari adanya pelacuran, seperti tukang becak, sopir-sopir bahkan warung-warung di sekitarnya.

Dengan demikian, sebuah tindakan kurang arif jika rencana penutupan Dolly itu dilihat hanya dari satu sudut pandang. Pasalnya, menurut Suhermanto, penutupan Dolly itu juga akan berpengaruh pada sektor ekonomi masyarakat sekitar. “Siapa yang mau dan bisa membelanjai serta memberi makan masyarakat sekitar yang basis ekonominya karena adanya Dolly,” tandasnya dengan nada tanya.

Lebih jauh alumnus Pascasarjana UI Jakarta ini menegaskan, bahwa Surabaya itu sebenarnya dibangun bukan oleh para pejabat atau Ormas. Melainkan dibangun oleh Pelacur.

“Lihat bagaimana lokasi pelacuran dahulu selalu berada di daerah kumuh dan sepi, lama-lama kelamaan tempat itu menjadi ramai bahkan menjadi tempat yang bersih, aset ekonomi besar, setelah masyarakat sadar, para pelacur hengkang mencari tempat yang sepi lagi begitu seterusnya termasuk Dolly. Dolly dulu merupakan tempat sepi, kumuh bahkan rawa, lama-kelamaan tempat itu sekarang menjadi maju, aset ekonomi yang besar bagi masyarakat maupun pemerintahan kota,”katanya menjelaskan.

Kendati demikian, Suhermanto tetap mendukung rencana tersebut. Namun, ia meminta semua pihak untuk menyelesaikan persoalan Dolly itu dengan bijak.

Redaktur     : Mukafi Niam
Kontributor : Abdul Hady JM