Adanya tuntutan dari sebagian sineas muda yang menginginkan agar UU No. 8 tahun 1982 tentang perfilman dihapuskan, hanya dilakukan oleh mereka yang berpikiran sempit arogan. Demikian disampaikan Sekretaris Umum (Sekum) MUI Pusat, H Ichwan Sam di Jakarta, Sabtu (15/3).
”Itu hanya sebuah arogansi yang lebih berorientasi pada kepentingan sempit,” tutur Ich<>wan, yang menambahkan, sudah saatnya di negeri ini muncul karya-karya film dari anak bangsa yang berkualitas.
Menurutnya, latar belakang munculnya tuntutan itu dinilainya bermula dari kekecewaan sebagian pihak terhadap juri Festival Film Indonesia (FFI), ketika hasil karya mereka tidak dimenangkan. “Ada nuansa sakit hati terhadap hasil FFI”.
Mantan Sekjen PBNU itu menuturkan, sebelum dilangsungkan FFI, film-film garapan sebagian anak muda itu dipromosikan besar-besaran (hingga berlebihan) oleh media tertentu, hingga melambungkan nama mereka. Alhasil, mereka menuduh penyebab kekalahan film yang mereka buat karena banyak disensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Mereka pun menuntut agar LSF dibubarkan, dengan cara meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapuskan UU No. 8 tahun 1982.
Secara tegas Ichwan menolak kalau LSF dibubarkan. Pasalnya, lembaga itu masih sangat dibutuhkan untuk memperbaiki moral bangsa. LSF inilah yang menyaring film-film agar tidak menampilkan gambar yang bersifat sadisme, asosial, melecehkan sendi-sendi kebangsaan, nilai-nilai luhur agama, dll.
“Rupanya mereka lupa kalau film itu tidak hanya tontonan, tapi juga tuntunan. Jadi tidak bisa sembarangan diedarkan kepada masyarakat. Ini demi menjaga moral bangsa,” terang Ichwan.
Dalam pandangan anggota Komisi VIII (agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak) DPR RI itu, moral dan nilai-nilai luhur bangsa harganya masih jauh lebih mahal dari kebebasan yang diinginkan oleh segelintir orang ”genit” yang belum menyelami karakter bangsa.
”Rupanya mereka lupa kalau masih ada jutaan orang Indonesia yang cara berpikirnya dalam konteks agama, masih hitam putih,” lanjutnya.
Tuntutan itu sendiri, kata Ichwan menyitir kalimat penyair Taufik Ismail, sebagai gerakan ”syahwat merdeka” yang dapat mengganggu harmonisasi masyarakat dan akan membawa ke tubir jurang permisif terhadap nilai-nilai moral.
Secara terus terang, Ichwan mengaku merindukan lahirnya film-film bagus dan sutradara-sutradara besar dari negeri ini. Seorang sutradara yang mampu melahirkan karya nyata dalam film bagus, bukan hanya mereka yang suka omong besar tentang dirinya. Ia mencontohkan film-film berkualitas dari Hollywood.
”Ternyata sutradaranya rendah hati,” ujarnya sambil tersenyum penuh makna. (sbh)
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua