Warta

Sekelumit Pengalaman dari Inggris

NU Online  ·  Senin, 20 Oktober 2003 | 15:11 WIB

Jakarta, NU Online
Setelah lima pekan berada di Inggris 12 kyai muda NU kembali ke tanah air dengan membawa segudang pengalaman baru yang tidak ditemuinya di Indonesia yang terungkap dalam dialog di Gedung PBNU.
Dengan ditemui Wakil Dubes Inggris Paul Speller yang juga ingin mendengarkan cerita dari Inggris guna memperoleh feedback, beberapa peserta bercerita tentang segala hal yang mereka alami di sana, baik kesenangan atau kesulitan yang ada.

Karena fokusnya adalah untuk pengembangan pendidikan, maka program yang dirancang untuk para kyai muda itu juga untuk pengembangan pendidikan pesantren. Kursus yang dilaksanakan adalah kursus leadership dan manajemen pendidikan dengan materi yang beragam. Ustadz Idris dari pesantren Sidogiri mengatakan bahwa banyak juga materi kursus yang sudah diperoleh di Indonesia, bahkan ada yang sudah diterapkan. Namun demikian ada juga yang baru baik secara substansial maupun instrumental.

<>

“Contohnya Dr. David Floraid mengatakan perlu adanya divisi pengembangan kurikulum yang selama ini relatif tidak ada atau kurang fungsional di pesantren,” ungkapnya.

Dari berbagai dialog dengan Muslim Inggris juga terungkap suka dan duka menjadi muslim di Inggris antara lain bagaimana mereka mempertahankan jati diri dan identitas keislamannya ditengah-engah mayoritas yang tidak beragama Islam, baik dalam lingkungan, kantor, sekolah, maupun keluarga.

“Untuk itu kita harus banyak bersyukur karena hidup dalam masyarakat yang mayoaritas muslim, tinggal mengembangkannya saja,” ungkap ustadz Abdullah Kamali dari Pesantren Langitan’

Pendidikan Islam di Inggris juga tumbuh sangat baik. suatu hal yang mengagumkan bagi kami, karena dilihat dari segi usia masih relatif muda, seperti yang didirikan oleh Yusuf Islam yang didirikan pada tahun 1982, tetapi lebih maju dari sekolah Islam dan pesantren di Indonesia yang usia sudah puluhan tahun,” ungkapnya

Mereka berhasil melakukan diislamisasi kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan disesuaikan dengan ajaran islam. “Jadi kurikulum yang dari pemerintah berhasil mereka Islamkan,” tambahnya.

Dari perkuliahan di Inggris, juga terungkap bahwa sebanarnya Islam yang ada saat ini merupakan Islam tahap ke III karena dari penemuan sejarah terungkap bahwa Islam pertama kali muncul di Inggris 150 tahun setelah Rasulullah meninggal dimana ditemukan mata uang dari emas yang bertuliskan Laa Illaha Illalah. Diprediksi bahwa raja Inggris pada masa itu menganut Islam.

Tahap kedua ketika ada interaksi dalam perdagangan dan peperangan yang mempengaruhi peradaban disana. Salah satu kota di Australia yang bernama Sidney (ada juga kota yang sama di Inggris) ada yang mengatakan berasal dari kata-kata sayyidina.

Tahap ke III terjadi setelah perang dunia pertama ketika ada sebagian umat Islam yang menjadi tentara Inggris dan setelah perang Dunia ke II banyak tentara Pakistan, dan negara-negara Islam yang bermigrasi kesana dan teguh memegang agamanya.

Pengalaman lain adalah di Inggris masjid memang benar-benar difungsikan sebagaimana fungsinya, sebagai pusat dakwah, pendidikan keislaman, tempat pameran, perpusatakaan, pelayanan sosial seperti kesehatan, dan perlu diketahui bahwa sebagian besar masjid bekas gereja tua yang dijual.

Peserta short course juga mengunjungi perguruan tinggi seperti Cambridge, yang dalam hal ini karena keterbatasan waktu cuma berkeliling sekitar kampus dan Oxford yang sempat mengunjungi program islamic studies.

Disana diketahui bahwa sistem tutorial atau sorokan dalam bahasa pesantren dianggap sebagai sistem terbaik. “Disini dianggap kumuh dan tradisional, tetapi di universitas paling maju di dunia dianggap metode paling baik,” ungkapnya. Mereka juga mengunjungi perpusatakaan 7 juta. Hal yang penting adalah di tiap ruangan ada tulisan “Tuhan, tambahkanlah aku ilmu atau dalam bahasa arab “Robbi zidni ilma.”

Kunjungan ke sekolah Islam ternyata adalah Madrasah Al Hijrah di Birmingham yang usianya masih sekitar 4 tahun. Katanya sudah nomer 1 diantara sekian sekolah, juga dibandingkan dengan sekolah negeri sehingga mendapat subsidi dari pemerintah karena dapat mengalahkan sekolah lainnya. Di al Hijrah ada ajaran-ajaran islami yang di tampilkan di berbagai sudut gedung seperti hadist “berdusta mengurangi rizki”.
Murid di Inggris mendatangi guru bidang studinya masing-masing, tidak seperti di Indonesia yang mana guru masuk ke kelas yang telah di tentukan. “Ini sesuai dengan etika islam yang menghormati guru. Pendidikanpun berjalan dari dua arah. Guru dan murid saling berinteraksi sehingga murid bisa berkembang dengan baik.

Hal yang dikeluhkan oleh para peserta adalah mengenai makanan yang tidak cocok di lidah Indonesia dan juga berbagai kesemrawutan yang terjadi di minggu pertama kedatangan mereka ke Inggris, selain itu juga uang saku yang terbatas akibat biaya hidup yang tinggi. Namun demikian hal ini tidak mengurangi semangat mereka untuk belajar.

HM Rozy Munir yang mengikuti