Warta

Sejumlah Presiden RI Jatuh Akibat Korban Konspirasi Politik MPR

NU Online  ·  Sabtu, 20 Desember 2003 | 02:52 WIB

Jakarta, NU.Online
Seorang anggota Mahkamah Konstitusi (MK) DR Harjono, SH, MCL mengatakan, sejumlah mantan Presiden RI jatuh dari kekuasaannya, akibat konspirasi politik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)  yang dalam konstitusi  (UUD  1945) memiliki kekuasaan  tak terbatas.

"Konspirasi  politik   menjatuhkan  seorang  presiden mudah terjadi di MPR dengan dalih melanggar GBHN, karena berdasarkan konstitusi, MPR merupakan lembaga pemegang kedaulatan rakyat tertinggi yang berhak menentukan  nasib  presiden,"  ujarnya pada Sosialisasi MK di Universitas Andalas Padang (Unand), (19/12) Jum'at kemarin.

<>

Menurut dia,  kepentingan  politik mewarnai berbagai ketetapan MPR. Koalisi-koalisi sesaat antar-elemen Parpol di MPR mudah terjadi untuk menjatuhkan presiden, karena mungkin ada ’jagonya’ yang tidak jadi menteri, kemudian  mereka  berkoalisi  untuk menjatuhkan presiden dengan dalih melanggar GBHN.

Ia menunjuk contoh mantan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie dan Gus Dur  adalah para korban konspirasi politik anggota MPR yang selalu menggunakan alasan pelanggaran GBHN untuk menjatuhkan presiden. Mantan Presiden Soekarno dijatuhkan MPRS karena dicap melanggar GBHN, kemudian Soeharto meskipun kejatuhannya bukan karena konspirasi MPR, tetapi bila tetap bertahan dalam konstelasi politik yang penuh dengan kekacauan itu, potensial juga dijatuhkan MPR.

Kemudian mantan Presiden Habibie dijegal MPR  dengan menolak pidato pertanggungjawabannya di depan MPR, sehingga  dengan adanya penolakan tersebut Habibie tidak mungkin mencalonkan diri menjadi presiden pada Pemilu 1999 lalu.

Berkat  konspirasi  politik di MPR pada Pemilu 1999 lalu Megawati Soekarnoputri yang partainya PDIP  keluar sebagai pemenang Pemilu 1999 juga gagal meraih ambisinya menjadi orang nomor satu di Indonesia mengikuti jejak ayahnya Soekarno,  bahkan  yang terpilih menjadi Presiden justru Ketua PBNU Gus Dur.

"Gus Dur sendiri akhirnya juga menjadi korban konspirasi politik MPR, karena baru sekitar dua tahun berkuasa MPR menggelar Sidang Istimewa  dengan agenda tunggal memecat Gus Dur dengan alasan yang sama melanggar GBHN," ujarnya.
    
Kejam

Harjono  menilai sistem MPR tersebut lebih kejam dari sistem parlementer, karena bila seorang presiden dijatuhkan MPR, sulit bangkit kembali untuk menduduki posisinya kembali, tetapi dalam parlementer bila seorang PM (Perdana Menteri) jatuh  sewaktu-waktu bisa bangkit meraih jabatannya kembali.

Dalam  Pasal  UUD 1945 sebelum diamandemen  antara lain ditegaskan MPR berhak menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk memberhentikan Presiden bila  terbukti sungguh-sungguh melanggar GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara), karena itulah  muncul  desakan agar kekuasaan MPR dibatasi melalui reformasi konstitusi. (cih)***