Sejarah Indonesia Masih Gunakan Cara Pandang Kolonial
NU Online · Selasa, 17 Juni 2008 | 03:01 WIB
Catatan sejarah yang dimiliki bangsa Indonesia masih bercampur dengan sejarah kolonial. Karena itu Indonesia seringkali dipandang dengan cara pandang dan teori kolonial itu.
”Kita belum pernah bicara tentang diri kita sendiri. Para ilmuwan dan sejarawan masih banyak yang yang mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Belanda dan Ingris,” kata Makmuri Soekarno, Ahli Peneliti Utama (APU) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).<>
Dalam dalam satu diskusi di Jakarta pekan lalu alumni IAIN dan UGM Yogyakarta itu menyayangkan sikap para ilmuwan dan sejarawan bangsa Indonesia karena tidak memiliki kepercayan diri dan lebih senang menggunakan pendapat orang lain yang spekulatif, ketimbang pandangan sendiri yang lebih empirik.
Dicontohkan, waktu itu, Belanda suka foya-foya di waktu malam sehingga mereka bangun amat siang. Sementara kaum pribumi sangat rajin, bangun pagi hari dan langsung bekerja di sawah. Persis pukul 11.00 mereka beristirahat untuk makan dan sholat dzuhur.
”Pada saat itulah Belanda baru bangun dan keluar rumah dilihatnya kaum pribumi pada istirahat dan menganggur, lalu dikeluarkannya teori bahwa pribumi malas. Mereka tidak tahu kalau pribumi telah bekerja dari shubuh hingga tengah hari. Nah teori yang salah karena salah lihat itu masih saja dipercaya,” katanya.
Makmuri mengatakan, teori menjadi semacam peta. Jika peta yang dibuat itu tidak relevan, maka sesatlah meraka yang menggunakan peta tersebut.
”Bahkan bagi orang yang fanatik pada teori bule tidak sedikit yang menyalahkan realitas, kalau relitas berbeda dengan teori. Ini pikiran terbalik, dan berlaku hanya pada ilmuwan yang jumut dan ortodok,” katanya.
Dengan melakukan penelitian yang lebih empirik, tambahnya, sejarawan Indonesia bisa keluar dari belenggu ortodoksi teori. Dikatakannya, belenggu itulah yang mengakibatkan teori keilmuan Indonesia pernah maju.
Dirinya berharap kalangan peneliti muda menyadari kekeliruan itu sehingga memperoleh kebenaran. Para peneliti diharapkan mau berendah hati dengan tekun berkomunikasi dan bertanya pada masyarakat.
”Bukan keangkahan dengan hanya berdiam di kampus atau di laboratorium, yang mengabaikan silaturrahim. Penelitian sosial bisa menjadikan orang rendah hati dan selalu mawas diri, sehingga tidak mudah tersesat oleh berbagai teori yang bias dan penuh stereotip,” katanya.
Para sejarawan Indonesia, kata Makmuri, akan bisa memahami bangsanya sendiri melalui penelitian dan pemahaman terhadap lingkungan masyarakat yang ada di sekitar. ”Dengan realitas itu kita bisa menguji keabsahan teori, dan dengan teori yang benar kita bisa menjalankan program dengan benar,” pungkasnya. (mdz)
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua