Warta

Sarbumusi Ungkap Empat Pilar Ekonomi China

Sen, 4 Desember 2006 | 13:13 WIB

Jakarta, NU Online
Kunjungan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) bersama 15 federasi pekerja selama lima hari (26-30 Nopember) ke China dan Hongkong ternyata tidak pulang dengan tangan hampa. Setidaknya, ada banyak wawasan dan ilmu yang sangat berharga yang bisa dibawa pulang dari negeri Tiongkok tersebut.

Ketua Umum Sarbumusi H Junaidi Ali SH mengungkapkan, sedikitnya ada empat faktor yang menjadi pilar perekonomian di negara berhaluan komunis tersebut. Pertama, katanya, adalah sistem politik. Sistem politik tertutup, otoritarian dan totalitarian—sebagaimana menjadi ciri khas negara komunis/sosialis lainnya—sangat mendukung iklim investasi.

<>

“Sistem politik di sana (China-Red) menganut sistem satu partai, Partai Komunis China. Begitu juga sistem perburuhannya, yakni cuma ada satu serikat buruh yang langsung berada di bawah partai komunis itu,“ terang Junaidi, begitu panggilan akrab pemimpin tertinggi organisasi buruh di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) itu kepada NU Online di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (4/12).

Konsekuensi dari sistem politik tersebut, kata Junaidi, adalah negara yang begitu kuatnya dengan sangat leluasa bisa mengatur sistem ekonomi yang aman untuk investasi dan aktivitas ekonomi lainnya. “Gejolak politik yang bisa mengganggu iklim investasi di sana, bisa diatasi dan hampir tidak ada,“ tandasnya.

Hal itu, tambahnya, berbeda dengan di Indonesia. Salah satu faktor mengapa investor enggan, bahkan takut untuk menanamkan modalnya, karena kondisi politik di negeri ini tidak stabil. “Sedikit-sedikit demo. Sedikit-sedikit mogok, rusuh. Belum lagi korupsi yang merajalela,“ pungkasnya

Faktor kedua, lanjut Junaidi, yang menunjang perekonomian negeri Tirai Bambu itu  adalah kemudahan dalam hal pajak. “Di sana, 0-2 tahun, sebuah perusahaan bebas pajak. 2-5 tahun dikenakan pajak 50 persen. Lebih dari 5 tahun ada peraturan tersendiri,“ jelasnya.

Ditambahkan Junaidi, faktor ketiga adalah penguasaan negara terhadap tanah. Sebagaimana juga di negara komunis/sosialis lainnya, menurutnya, tanah dimiliki dan dikuasai oleh negara. Tak ada seorang pun yang memiliki hak pribadi atas tanah di negeri pimpinan Presiden Hu Jintao itu.

Diceritakannya, lima kota (Beijing, Shanghai, Suzhou, Guangzhou dan Shenzen) di China plus Hongkong, umumnya terdapat perumahan yang khusus untuk para buruh pabrik. Letak perumahan tersebut tak terlalu jauh dengan kawasan pabrik, sehingga memudahkan buruh untuk menuju tempat kerjanya.

Faktor keempat, kata Junaidi, adalah prosedur. Di negeri yang terkenal dengan Tembok China-nya itu, terutama untuk mendirikan usaha sangat mudah prosedurnya. “Jadi, kalau mau mendirikan usaha, prosesnya cuma butuh 3 hari. Kalau di sini (Indonesia) kan bisa 3 bulan. Itu pun belum karuan (tentu-Red) selesai,“ ungkapnya.

Satu hal lagi, imbuh Junaidi, yang juga turut mendukung kemajuan ekonomi China, terutama di sektor industri adalah tidak adanya status buruh tetap, semuanya buruh kontrak. Status itulah, katanya, cukup efektif untuk meningkatkan produktifitas kerja buruh, apalagi dengan besarnya jumlah penduduk China yang mencapai 1,3 milyar.

“Bagi seorang buruh di mana pun, yang penting kerja. Biar kontrak yang penting jelas bekerja. Dari pada status tetap seperti PNS (Pegawai Negeri Sipil seperti di Indonesia-Red) tapi gaji nggak jelas,” terang Junaidi. (rif)