Warta

Rekruitmen Caleg Cenderung Gunakan Pendekatan Like and Dislike

NU Online  ·  Rabu, 31 Desember 2003 | 15:20 WIB

Jakarta, NU Online
Seorang pengamat politik di Kendari, Prof Ir Mahmud Hamundu, MSc menilai, rekruitmen calon legislatif (Caleg), baik untuk pusat maupun daerah, cenderung  menggunakan pendekatan "like and dislike" (suka atau tidak suka).

"Saya melihat, hampir semua partai politik (Parpol) peserta Pemilu 2004 menggunakan pendekatan itu dalam merekrut Caleg-nya," kata pengamat politik yang juga Rektor Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari itu di Kendari, Rabu.

<>

Menurut Mahmud, Caleg yang disukai Parpol pasti akan ditempatkan pada nomor urut jadi, tanpa melihat apakah yang bersangkutan memiliki basis pendukung yang riil di masyarakat atau tidak.

Sebaliknya, Caleg yang tidak disukai Parpol, hanya ditempatkan pada nomor urut "sepatu" walaupun  Parpol mengetahui bahwa dia  merupakan  tokoh yang mendapat dukungan luas sebagai Caleg dari masyarakat, kata Mahmud.

Menurut dia, banyaknya aksi protes dari masyarakat mengenai penetapan nomor urut Caleg, baik untuk pusat maupun daerah, di  hampir semua Parpol, membuktikan bahwa rekruitmen Caleg tidak memperhatikan aspirasi rakyat.

"Ini tentu sangat merugikan Parpol bersangkutan pada Pemilu 2004 nanti. Masalahnya, sistem Pemilu yang akan digunakan nanti adalah pemilihan langsung, sehingga suara rakyat sangat menentukan kemenangan Parpol," katanya.

Rakyat yang merasa kecewa karena Caleg yang mereka dukung hanya menempati nomor urut sepatu, kata Mahmud,  bisa jadi akan beralih ke Parpol lain atau bisa jadi pula, mereka memilih tidak menggunakan hak pilihnya (Golput-Red).

Menurut  dia, dalam sistem pemilihan langsung, seorang Caleg yang berada pada nomor urut  "sepatu" tetap berpeluang lolos, kalau ia mendapat suara sesuai kuota yang ditetapkan, tetapi itu kecil kemungkinannya.

Masalahnya, kata Mahmud, jumlah Parpol peserta Pemilu cukup banyak (24 Parpol-Red), sehingga untuk mendapat suara sesuai kuota yang ditetapkan,  tidak mudah, apalagi sesuai aturan, Caleg hanya akan mendapat suara dari daerah pemilihannya saja.

"Kalau pemilih bisa dari luar daerah pemilihan Caleg yang bersangkutan, mungkin ia akan mendapat tambahan suara dari keluarganya di kampung kelahirannya atau kerabatnya di daerah lain," katanya. Ia menambahkan, ketentuan bahwa apabila seorang Caleg tidak mendapat suara sesuai kuota, suaranya akan diberikan kepada Caleg di nomor urut atas walau suara yang diraih Caleg di nomor urut atas itu jauh lebih sedikit, jelas tidak demokratis.

Seharusnya, suara diberikan kepada Caleg yang mendapat suara lebih besar, tanpa melihat nomor urutnya. Misalnya Caleg nomor urut satu meraih 1.000 suara dan  Caleg nomor urut 33 meraih 5.000 suara. Yang meraih  5.000 suara inilah yang  harus
 jadi, katanya.(mkf)