Warta

Rais Syuriyah NU Sumbar: Pendidikan Agama Tidak Boleh Dipandang Sebelah Mata

NU Online  ·  Sabtu, 27 Agustus 2011 | 10:59 WIB

Padang, NU Online
Ibadah dan amaliah yang dilakukan selama  bulan Ramadhan, diharapkan  dapat membentuk jiwa yang suci. Di bulan ini umat Islam di-workshop selama sebulan penuh untuk mengendalikan diri, tidak makan, minum dan melakukan hubungan suami istri, padahal itu semua sudah milik sendiri. Setelah Ramadhan membawa bekas dalam kehidupan kita selanjutnya.

Demikian diungkapkan Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Propinsi Sumatera Barat Prof Dr H. Asassriwarni, kepada NU Online, Sabtu (27/8/2011), sekaitan bakal berakhirnya Ramadhan dan menyambut Idul Fitri 1432 H tiga hari lagi. <>

Menurut Asasriwarni, selama Ramadhan jiwa sudah dilatih untuk  tegar dan penuh disiplin, punya kepedulian terhadap kaum dhu’afa’, memiliki rasa kepekaan terhadap nilai-nilai sosial yang akan melahirkan kecerdasan sosial, yang tidak mau mengzhalimi diri dan merugikan orang lain.

”Seperti tindakan korupsi yang marak terjadi di negara ini, suatu kejadian yang memilukan dan memalukan yang terjadi di negara yang kita cintai ini. Na’uzibillahi min tzalik. Berkaitan dengan hal tersebut, ke depan bidang pendidikan agama tidak boleh lagi dipandang sebelah mata, baik oleh pemerintah dan maupun seluruh lapisan masyarakat. Terutama oleh para orangtua, harus selalu memberikan tauladan yang baik,” kata Asassriwarni.

Belajar dari sejarah al-Qur’an,  turunnya wahyu pertama surat al-‘Alaq yang berisi perintah membaca, sebagai langkah awal untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sesudah itu wahyu yang turun selalu berkisar tentang persoalan iman. Barulah 12 tahun kemudian, turun perintah untuk mengerjakan shalat pada peristiwa isra’ mi’raj, tepatnya satu tahun sebelum hijrah. Tiga tahun sesudah itu, yakni tahun ke 2 hijrah, turunlah perintah untuk menunaikan zakat.

”Proses turunnya al-Qur’an yang seperti itu, memberikan pelajaran dan pemahaman kepada kita bahwa pendidikan agama dan penguasaan ilmu pengetahuan merupakan syarat utama untuk membangun kehidupan masyarakat yang damai, adil dan sejahtera. Adalah sangat naïf mengharapkan terwujudnya masyarakat yang berbudaya religius dan sejahtera dengan etos kerja yang tinggi, tanpa dibekali dengan pendidikan agama dan penguasaan ilmu pengetahuan,” tegas Asasriwarni.

Dikatakan, begitu pula dengan tingkat kepekaan dan kepedulian sosial terhadap kaum dhu’afa, akan lebih mudah muncul dari orang-orang yang berjiwa suci, yang melaksanakan nilai-nilai agama, secara tulus dan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari.

Dari 42 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat dalam al-Qur’an, 38 kali di antara selalu terkait dengan perintah menegakkan shalat. Artinya, orang-orang tidak melaksanakan ajaran agama dengan baik, sulit diharapkan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap saudara-saudaranya yang dhu’afa’. Padahal pola hidup individual, kikir, selalu berorientasi pada materi, tidak peduli terhadap lingkungan, sama halnya memakan hak orang yang Allah titipkan. Sikap tersebut akhirnya akan merugikan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

“Dengan selalu mengamalkan nilai-nilai agama dan berupaya maksimal, Allah akan membantu kita dalam mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera. Sehingga masyarakat dan negeri kita menjadi negeri yang Baldhatun Thaibatun warabbul Ghafur, negeri yang makmur yang diredhai Allah Swt,” katanya.  
  
Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Bagindo Armaidi Tanjung