Warta

Radikalisme Tak Bisa Ditumpas Dengan Senjata Saja

NU Online  ·  Jumat, 22 Juli 2011 | 03:17 WIB

Semarang, NU Online
Radikalisme tak bisa ditumpas dengan senjata saja. Bedil dan peluru tak bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah kekerasan berlabel agama. Sebab aksi  terorisme yang dijiwai semangat agama, meski sesat, justru menganggap kematian  akibat ditembak aparat adalah syahid (martir). Yaitu anggapan mati dalam keadaan suci.

Hal itu disampaikan Rais Syuriyah PBNU KH Hasyim Muzadi saat menjadi pembicara dalam seminar "Deradikalisasi Agama melalui Peran Mubalig di Jawa Tengah" di Semarang yang digelar Fakultas Dakwah IAIN Walisongo bersama Kementrian Komunikasi dan Informasi di Hotel Novotel Semarang, Rabu (20/7).
<>
Forum dialog yang dimoderatori tokoh sufi Semarang, KH Amin Budi Harjono itu dihadiri utusan ormas Islam, akademisi, mahasiswa, santri, pejabat Muspida Jateng, dan sejumlah politisi.

Kiai Hasyim yang juga mantan ketua umum PBNU ini menjelaskan, penanganan aksi terorisme dengan cara menembak mati pelakunya di luar putusan pengadilan, justru bisa menumbuhkan semangat calon-calon teroris yang lain. Bahkan mereka menganggap polisi adalah kafir dan musuh agama. Sebab dinilai thoghut.

"Aksi-aksi terorisme tak bisa berhenti begitu saja dengan menembak pelakunya. Mesiu dan peluru tak mampu menumpasnya. Salah-salah polisi yang dimusuhi," tuturnya.

Pembicara lain, pakar politik Islam dan dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Dr M Nafis Junalia mengatakan, Indonesia yang dulu terkenal harmonis dan damai, akhir ini rusak oleh aksi terorisme yang beruntun dengan gejolak politik.

“Radikalisasi agama terjadi sepanjang sejarah Islam. Dulu ada pemberontakan Mukhtar dengan gerakan Awwabin-nya untuk menuntut balas kematian Husein di Padang Karbala. Pembunuhan massal qodhi dan hakim di masa pemerintahan al-Ma’mun dan al-Wasil yang menganut Mu’tazilah. Pelakunya sekte maupun penguasa berfaham ekstrem,” urainya.

Dilanjutkannya, doktrin ghuluw sekte Syiah Qoromithoh di masa itu, juga melahirkan tindakan perampokan dan teror terhadap kafilah dagang yang melintasi teluk Persia dan sekitar Syiria. Lalu terjadi pula penangkapan massal terhadap ulama oleh Khalifah al-Qodir setelah dia mengeluarkan dektrit al-Qodiriyah.

Di masa berikutnya, tambah dia, muncul Ikhwanul Muslimin, Takfir wa Hijrah, Hizbut Tahrir dan Mujahidin al-Khalq di jazirah Arab sebagai wadah gerakan reformasi di negeri-negeri Islam pasca kemerdekaan. Awalnya mendapat simpati umat, tetapi faksi-faksi tersebut justru menebar permusuhan dan bersikap kejam terhadap saudara sendiri. Sehinga ditolak di mana-mana.

Integral-Komprehensif

Lebih lanjut Hasyim menerangkan, radikalisme agama adalah masalah yang kompleks dan harus diselesaikan pula secara komprehensif. Tidak bisa digarap sepotong-sepotong dan hanya satu elemen. Tetapi butuh koordinasi menyeluruh.

"Penanganan terorisme harus melibatkan seluruh pihak, seperti ulama, ahli hukum, dan kepolisian berkoordinasi mengatasi masalah ini. Selama ini kurang terkoordinasi," sambung dia.

Sebelum para teroris menjalankan aksinya, lanjut Hasyim, sebisa mungkin diantisipasi. Tidak  boleh menunggu ada pengeboman baru ribut menangkap teroris.

Itu karena kepolisian memiliki keterbatasan dalam tugas penanggulangannya. Misalnya, bila ada pengajian tertutup mereka tidak bisa serta merta membubarkan. Polisi baru bertindak setelah ada perbuatan nyata, yaitu pengeboman.

”Inilah tugas para ulama untuk melakukan pencegahan. Sayangnya ulama itu hanya didekati saat ada pilkada,” ujarnya sambil tertawa.

Menanggapi hal ini, dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Dr M Nafis Junalia mengatakan, sudah saatnya para pendakwah mengetahui peta persoalan yang ada dalam masyarakat. Lalu dakwahnya simultan.

Sungguh disayangkan bila hebat berceramah, namun kehadiran mereka tidak memiliki dampak apa-apa. Yakni hanya menyampaikan ceramah tanpa memberi apa yang dibutuhkan masyarakat. 

”Alangkah lebih baik dakwah yang rahmatan lil alamin mampu berdialog dengan problem riil di masyarakat,” tandasnya.

Dia jelaskan, masyarakat yang sedang kelaparan tak patut dikhotbahi. Tetapi santunan. Ini tentu butuh dana yang memadai.

Berikutnya, Antropolog Undip Prof Dr Mudjahirin Thohir mengetengahkan, berbagai kekerasan yang masuk kategori radikalisme keagamaan, sering menjadi proyek yang menguntungkan dalam ranah politik. Hal itu menurutnya, sebagai ukuran rendahnya peradaban para pemeluk agama yang demikian. Maa, inilah tugas mulia untuk ditanggulangi.

”Ekspresi radikalitas keagamaan menampakan ajaran agama tidak menjadi berkah, melainkan mafsadat (kerusakan). Karena diajarkan secara egoistis dan intoleran. Dibutuhkan kerja serius lintas disiplin ilmu, lintas agama, plus kesungguhan pemerintah” paparnya. 

Pengaruh Situasi

Pengasuh Ponpes mahasiswa Al-Hikam Malang KH Hasyim Muzadi melanjutkan, kelompok radikal menemukan momentum dalam era kebebasan sekarang ini. Diperparah karut-marutnya kondisi sosial di negeri-negeri Islam. Termasuk Indonesia.
Ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan di tengah masyarakat itu, kata Hasyim, menjadi pemanas gerakan radikalisme dan mudah jadi alat provokasi untuk bertindak sesuai paham ekstrem yang diajarkan.

"Adanya ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan membuat masyarakat mudah dipengaruhi oleh gerakan radikalisme agama. Sebab mereka menawarkan alternatif harapan meski hayalan surga. Jadi berani meneror," ujarnya.

Pemerintah, tambahnya, harus mengatasi faktor pemicu radikalisasi agama. Kemiskinan  dan pengangguran diatasi dengan perbaikan ekonomi, menciptakan keadilan, dan jangan melakukan kebohongan politik.

Senada, Nafiz Junalia mengatakan, perintah Allah bagi setiap pemimpin adalah adalah menegakkan keadilan. Mengutip Al-Qur'an  surat al-Nisa ayat 135 ia menyebutkan, setiap orang beriman harus menjadi penegak keadilan dan harus menjauhi hawa nafsunya.

“Keadilanlah yang bisa mencegah orang berbuat aniaya. Kebajikan membuat orang menghargai sesama,” tuturnya.

By Design

Di akhir sesi Kiai Hasyim mengungkapkan, perkembangan gerakan radikal di Indonesia bukan hanya karena meluasnya paham radikalisme  dan militansi berlatar agama, melainkan banyak kelompok yang menikmati kondisi kekisruhan bangsa.

Kelompok tersebut juga ditopang  sumber finansial yang kuat. Dan selalu ada tangan-tangan pihak asing dalam hal ini. Mereka by design. Bukan spontan dan sporadis.

“Kita mafhum, kelompok radikal adalah turunan dari gerakan trans-nasional. Kaitan dengan pihak asing sangat kuat. Sumber daya dan dananya ada. Cuma, ada yang bermain di politik formal, ada yang di masyarakat,” tuturnya. 

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Ichwan