Warta

Presiden Yudhoyono Protes Soal Perjanjian Ekstradisi

NU Online  ·  Rabu, 16 Februari 2005 | 08:32 WIB

Singapura, NU Online
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keberatan atas adanya anggapan bahwa lawatannya ke Singapura adalah untuk menandatangani perjanjian ekstradisi, yang proses perundingan tentang itu sebenarnya baru bergulir pada Januari 2005.

"Saya kaget, kalau ada yang menyebarkan isu, katanya saya mengatakan saya datang ke Singapura akan menandatangani perjanjian ekstradisi," kata Yudhoyono dengan nada tinggi saat jumpa pers pada akhir kunjungan dua harinya di Singapura, Rabu.

<>

"Saya ingin memberikan koreksi kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang seolah-olah saya mengatakan --tidak pernah saya katakan di manapun, kapanpun--, bahwa kunjungan saya ke Singapura ini untuk menandatangani perjanjian ekstradisi," katanya menambahkan.

Selain membingungkan rakyat, ujarnya, anggapan seperti itu menyesatkan arah politik Indonesia serta mengganggu proses kerja sama antara Indonesia dengan Singapura. Kepala Negara juga mengulangi keberatannya jika ada anggapan bahwa pembicaraan mengenai perjanjian ekstradisi dengan Singapura tidak ada kemajuan.

Menurutnya, Singapura jelas-jelas sudah menunjukkan kemajuan dalam kebijakannya, yang setelah puluhan tahun akhirnya bersedia untuk merundingkan lahirnya sebuah traktat ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Selain karena pembicaraan kedua negara masih berlangsung, ia menilai kurang realistis jika traktat ekstradisi itu bisa diwujudkan dalam waktu singkat.

"Selama 32 tahun sebelumnya sulit untuk mendapatkan kemajuan, tentu saya tidak mampu untuk menyelesaikannya selama 4 bulan ketika saya mengemban amanah ini," ujarnya.

Komitmen Singapura sendiri untuk akhirnya bersedia membicarakan masalah pembentukan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia pertama kali diberikan beberapa waktu lalu oleh Goh Chock Tong 'saat menjabat perdana menteri Singapura' kepada Presiden Megawati Soekarnoputri saat Goh melakukan lawatan ke Indonesia.

Komitmen itu kemudian ditegaskan kembali oleh PM Singapura, Lee Hsien Loong, saat bertemu dengan Presiden Yudhoyono pada hari Selasa (15/2) di Singapura.

Dalam jumpa pers bersama usai pertemuan tersebut, PM Lee mengatakan bahwa ia dan Yudhoyono sepakat menginstruksikan delegasi kedua negara untuk melanjutkan perundingan. Perundingan pertama tentang perjanjian ekstradisi kedua negara telah dilakukan pada Januari lalu, dan perundingan selanjutnya, ujar PM Lee, akan dilakukan pada Maret 2005.

Kompleks

Sementara itu, menurut Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memerlukan diskusi yang dalam karena traktat tersebut menyangkut masalah perbedaan sistem hukum yang sangat menonjol. "Sebagai contoh, dalam sistem hukum Indonesia, ekstradisi menjadi kewenangan pihak pemerintah. Di Singapura, itu sebaliknya. Extradisi bisa digulirkan di pengadilan," ujar Hamid di Singapura.

Kemajuan yang telah dicapai sekarang, paparnya, bahwa tim teknis kedua negara telah bertemu dan membahas aspek-aspek yuridis masing-masing negara. Menurut Hamid, pertemuan teknis pertama yang dilakukan pada Januari lalu di Singapura, memfokuskan pembahasan pada sistem hukum Singapura.

Sementara pertemuan teknis kedua, katanya, akan dilangsungkan pada akhir Maret atau awal April 2005 dengan fokus membahas sistem hukum Indonesia. "Kemudian (setelah itu, red) akan dibicarakan kemungkinan kemungkinan mempertemukan kedua sistem hukum itu lalu merancang traktat (ekstradisi)," kata Hamid. Usai melakukan kunjungan dua hari di Singapura, Presiden Yudhoyono dan rombongan bertolak kembali ke Jakarta pada Rabu sore. (Ant/Cih)