Jakarta, NU Online
Siapa pun presiden terpilih nanti, harus merevisi total terhadap RAPBN 2005, karena RAPBN tersebut sedikitnya memiliki empat kelemahan.
"Siapa pun pemerintahan yang akan datang, apakah di bawah Megawati Soekarnoputri atau Susilo Bambang Yudhoyono harus harus menyadari bahwa RAPBN ini sangat tidak realistis," kata Direktur Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Iman Sugema seperti diberitakan radio Smart FM Jakarta, Selasa (24/8).
<>Menurut dia, RAPBN 2005 memiliki empat kelemahan, yaitu bersifat spekulatif, kontradiktif, kontraktif, dan konservatif. Bersifat spekulatif karena unsur-unsur dan asumsi yang ditetapkan tanpa memperhitungkan resiko dan trend yang terjadi.
Jika asumsi ditetapkan secara bertentangan terhadap trend yang terjadi di masa yang akan datang maka kemungkinan besar angka aktual yang terjadi kemungkinan besar akan jauh berbeda dari yang telah diasumsikan. Paling tidak ada dua asumsi yang nyata-nyata mengalami kecenderungan naik yaitu tingkat suku bunga dan harga minyak.
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang saat ini mencapai sekitar 7,3 persen, cenderung terus mengalami kenaikan sejalan dengan kecenderungan di pasar global. Di RAPBN 2005 asumsi suku bunga SBI hanya ditetapkan sebesar 6,5 persen.
Sementara harga minyak terus mengalami kenaikan hingga mencapai 46 dolar AS per barel. Harga tersebut jauh berbeda dengan asumsi yang ditetapkan dalam RAPBN 2005 yang hanya sebesar 24 dolar AS per barel. "Walaupun terdapat kemungkinan terjadi pembalikan trend, adalah sangat sulit untuk bisa membayangkan bahwa harga rata-rata sepanjang 2005 akan mencapai level yang ditargetkan dalam RAPBN 2005," kata Iman.
Ekonom Indef lainnya Aviliani menyebutkan, RAPBN 2005 juga bersifat kontradiktif antara lain karena adanya ketidakkonsistenan antara laju pertumbuhan ekonomi dengan belanja modal.
RAPBN 2005 menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dibanding 2004 sebesar 4,8 persen. Target pertumbuhan ekonomi itu kontradiktif dengan belanja modal yang praktis tidak mengalami peningkatan yaitu tetap sebesar dua persen dari PDB. "Berdasarkan pengalaman tahun 2000 sampai 2003, salah satu sumber penyebab rendahnya pertumbuhan adalah rendahnya kemampuan pemerintah dalam melakukan investasi publik," kata Aviliani.
Aviliani juga menyebutkan bahwa RAPBN 2005 bersifat kontraktif karena dana yang ditarik dari masyarakat lebih besar daripada yang dikembalikan kepada masyarakat.
RAPBN 2005 mentargetkan penerimaan dalam negeri Rp377,14 triliun sementara belanja negara Rp394,78 triliun dan pembayaran bunga utang sebesar Rp63,99 triliun, sehingga dana yang dikembalikan ke masyarakat hanya Rp330,79 triliun. "Kontraksi pada RAPBN 2005 disebabkan karena beban utang baik dalam maupun luar negeri sangat besar," katanya.
Sementara itu Ekonom Indef Fadhil Hasan menyebutkan, RAPBN 2005 bersifat konservatif karena pemerintah masih bertumpu pada upaya menjaga stabilitas makro ekonomi dan keberlanjutan fiskal secara ketat dengan mengorbankan fungsi yang sebenarnya penting dari pemerintah.
"Fungsi yang sebenarnya lebih penting dari pemerintah dalam kondisi ekonomi sekarang ini adalah memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih memadai, namun hal ini tidak tampak dalam RAPBN 2005," kata Fadhil Hasan. (cih)
Terpopuler
1
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
2
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
3
Rekening Bank Tak Aktif 3 Bulan Terancam Diblokir, PPATK Klaim untuk Lindungi Masyarakat
4
Hadapi Tantangan Global, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Khazanah Pesantren Perlu Diaktualisasikan dengan Baik
5
Israel Tarik Kapal Bantuan Handala Menuju Gaza ke Pelabuhan Ashdod
6
Advokat: PT Garuda dan Pertamina adalah Contoh Buruk Jika Wamen Boleh Rangkap Jabatan
Terkini
Lihat Semua