Jakarta, NU Online
Fenomena pornografi dan pornoaksi merebak dimana-mana dan telah menimbulkan protes dalam berbagai bentuk, mulai dari demonstrasi, penolakan terhadap kehadiran seorang artis yang dianggap sebagai artis yang melakukan pornoaksi, dan juga desakan terhadap pembentukan UU anti pornografi dan pornoaksi.
Ketua PBNU Prof Cecep Syarifuddin mengatakan bahwa RUU anti pornografi tersebut merupakan salah satu usaha umat beragama dalam rangka pengurangan pornografi yang saat ini sedang merebak. Diharapkan UU tersebut dapat membantu menyelamatkan generasi muda yang belum memiliki nilai-nilai moralitas yang kokoh.
<>Namun demikian, proses pembuatan UU ini merupakan satu hal yang sangat sulit, karena materinya berkaitan dengan nilai-nilai agama dan sosial masyarakat yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, sedangkan sebuah UU harus mendefinisikan secara jelas apa materi yang dikandung didalamnya. Cecep mencontohkan. “Malaikat dalam Katolik telanjang, dan ini tidak bisa dianggap sebagai satu hal yang porno,” ungkapnya
Dalam pandangan Islam, pornografi dan pornoaksi adalah sesuatu yang mendorong menusia untuk melakukan perbuatan asusila, dan dijelaskan dalam sebuah ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” QS Al Isro 32.
Batasan dalam berpakaian dalam Islam dimana, laki-laki dan perempuan memiliki aurat atau bagian tubuh yang harus ditutupi menunjukkan standar yang harus dijaga, namun demikian batasan untuk pornoaksi bersifat subyektif, karena tergantung pada masing-masing individu.
RUU Anti pornografi mendefinisikan pornografi sebagai, “Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan/atau seksualitas, serta segala bentuk prilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain”.
Prof Cecep yang juga menjadi anggota tim badan sensor film menjelaskan bahwa standarisasi tersebut tidak boleh menimbulkan bias sosial, kemanusiaan, dan agama, di Indonesia yang bahkan memiliki potensi menjadi masalah baru, sehingga pembuatan UU tersebut harus mempertimbangkan sisi filosofis, historis, yuridis, sosiologi, dan politik.
Seperti permasalahan UU yang lain, implementasi adalah hal yang paling sulit. Ini juga bisa terjadi dalam kasus UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. “Memang, seringkali satu UU dibentuk karena desakan masyarakat dan kurang ada persiapan dalam implementasinya,” ungkapnya.
Suatu implementasi UU membutuhkan beberapa tahapan penting agar berhasil sampai di masyarakat termasuk sosialisasi bagaimana UU tersebut dipahami dengan baik dan masyarakat mau melaksanakannya.
Namun demikian, UU pornografi hanyalah salah satu alat dalam membantu meredam kemaksiatan yang semakin merebak. Peran terbesar dalam mengurangi hal ini tergantung pada masyarakat masing-masing, apalagi saat ini tidak ada lembaga yang mampu menahan pornografi dalam dunia internet kecuali nilai-nilai keluarga dan moralitas yang dimiliki masyarakat sendiri.(mkf)
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua