Warta

PKB : Negara Perlu Intervensi

NU Online  ·  Selasa, 19 April 2005 | 04:09 WIB

Semarang, NU Online
PKB memandang perlu intervensi negara (subsidi) untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, menyusul adanya komersialisasi pendidikan dan pelayanan kesehatan yang elitis serta mahalnya harga obat-obatan yang tidak berbanding lurus dengan tingkat pendapatan masyarakat.
 
"Terkait dengan semakin sulitnya tingkat perekonomian dewasa ini, khususnya daya beli dari masyarakat yang lemah, maka PKB melihat perlunya peningkatan pelayanan kesehatan dan penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kerakyatan," demikian isi Rekomendasi Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya yang disahkan dalam Muktamar II PKB yang berakhir Senin (19/4) dini hari.
 
Tim Perumus yang diketuai Prof H. John Wuwu, SE dengan Sekretaris Drs. H. Andi M. Ramly, MA, M.Pd, keduanya dari DPP, dibantu 11 anggota antara lain Dra. Sofia Arubusman (Sultra), Dra.Hj. Sun Fatayani, MM (Jatim), Buksir Darsan, Drs. A. Abdul Mujib (Jabar), dan  Dra. Floriberta Lake, SIP, MA  (NTT). Anggota lainnya, Ida Sakwan, M.A (PPKB), Nasrul Djalal (Sumbar), Drs. H. Otong Abdurrahman  (DPP), H. Choirul Sholeh Rasyid, SE (DPP), M. Muhyidin (Bengkulu), dan Drs. H.Abdullah Azwar Anas (DPP).
 
PKB,  melihat bahwa pembangunan ekonomi nasional harus berangkat dari potensi dasar yang dimiliki oleh bangsa, dengan arah meninggalkan ketergantungan pada luar negeri, baik ketergantungan finansial, teknologi maupun pemasaran.
 
Dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada potensi bangsa tersebut maka akan terjadi diversifikasi berdasar keunggulan-keunggulan lokal. Ketimpangan dan distansi yang terjadi di bidang ekonomi dalam bentuk pengusaha kuat dan pengusaha lemah, Kawasan Barat dan Kawasan Timur, desa dan kota akan dapat diatasi. Bentuk ekonomi itu dapat diwujudkan dengan terus menerus mendorong sektor riil yang bertumpu pada peningkatan kemampuan dan pengembangan usaha mikro, kecil menengah.
 
Selanjutnya pemerintah diharapkan membuat "time table", kapan harus mengakhiri ketergantungan pada utang luar negeri, dan adanya keperluan untuk mengkampanyekan cinta produk dalam  negeri, sehingga ketergantungan pada produk luar dapat dikurangi.
 
Menyinggung soal BBM, PKB mencermati bahwa masalah BBM sejatinya bukan sekadar kenaikan harga yang memberatkan masyarakat, tetapi lebih pada efektitifitas dan efisiensi yang dapat dihasilkan dari kenaikan tersebut. Selama ini, pemerintah belum melakukan langkah-langkah strategis yang mendorong terwujudnya peningkatan pendapatan rakyat dan kurang melakukan sosialisasi yang dapat diterima secara rasional terkait dengan kenaikan itu.
 
Pemerintah seharusnya dapat menjelaskan  dan mengevaluasi efektifitas dan efisiensi yang muncul dari kebijakan kenaikan harga BBM sebelumnya. Misalnya, sejauh mana penyaluran kompensasi BBM tahun 2003 telah sampai dan dirasakan oleh masyarakat, karena berangkat dari pengalaman masa lalu kenaikan harga BBM selalu dibarengi oleh tingkat kebocoran dan peluang untuk korupsi.
 
PKB melihat bahwa banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran belanja negara, yaitu mengurangi kebocoran, mengurangi ekonomi biaya tinggi birokrasi negara, dan konsisten menerapkan sistim pembukuan dan keuangan yang transparan.
 
Soal TKI, PKB melihat bahwa penanganan masalah TKI hanya bersentuhan dengan persoalan hilir, sementara wilayah hulu tidak tersentuh. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah penyelesaian yang komprehensif dengan melibatkan semua unsur terkait, mulai dari penyalur, pihak majikan, perjanjian kerja sampai persoalan rekruitmen tenaga kerja dengan SDM yang handal.
 
"Selama hal-hal itu belum dibenahi, maka persoalan tenaga kerja Indonesia akan tetap menjadi klasik, yaitu penderitaan bagi pencari kerja diluar negeri dengan ongkos sosial yang mahal, yaitu jatuhnya martabat bangsa," demikian isi rekomendasi yang telah disetujui muktamirin tersebut.
 
PKB juga memandang perlu adanya restrukturisasi dan rekonstruksi terhadap dunia