Warta KETUA NU PARIAMAN

Pesantren Tak Biasa Berdakwah dengan Tulisan

NU Online  ·  Sabtu, 16 Juni 2007 | 05:22 WIB

Pariaman, NU Online
Pesantren dinilai kurang terbiasa berdakwah dengan menggunakan tulisan. Para kiai dan alumni pesantren lebih sering berdakwah secara lisan.

Hal tersebut disampaikan PCNU Padangpariaman Rahmat Tuanku Sulaiman kepada NU Online di Pariaman, Sabtu (16/6). Sebelumnya dia menyerahkan dua buku kepada Ketua Umum PBNU KH A Hasyim Muzadi saat menghadiri Wusyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) PWNU Sumatera Barat, Kamis (14/6) lalu.

<>

Dua buku yang diserahkan kepada Ketua Umum PBNU itu berjudul ”Azwar Tuanku Sidi, Menjaga Maru’ah Ulama” dan ”Mereka Yang Terlupakan, Tuanku Menggugat karya Bagindo Armaidi Tanjung.”

Kedua buku  tersebut ditulis Bagindo Armaidi Tanjung yang saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua PW GP Ansor Sumbar sekaligus Pembina IPNU Padangpariaman. Kurang dan sulitnya ditemukan buku-buku tentang ulama surau yang bergelar tuanku di pasaran dan toko-toko buku, mendorong penulisnya untuk menerbitkan buku ini.

”Selaku Ketua NU Padangpariaman yang merupakan organisasi perkumpulan ulama-ulama pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah dalam berbagai kesempatan, pertemuan dan pelatihan, saya menghimbau dan mendorong para kader dan anggota NU serta masyarakat luas untuk menulis dan menerbitkan karya pemikirannya dalam bentuk buku,” kata Rahmad.

Selama ini, banyak dokumentasi pemikiran dan gagasan para ulama NU yang tersimpan hilang, seiring dengan meninggalnya ulama tersebut. Padahal karya dalam bentuk tulisan akan hidup sepanjang masa selama buku itu tetap dibaca orang, meskipun penulisnya sudah meninggal dunia. “Ulama selama ini terbiasa dalam dakwah lisan dan sedikit dakwah melalui tulisan,” katanya.

Ulama yang Konsisten

Buku pertama berkisah tentang Buya Azwar Tuanku Sidi, seorang ulama yang konsisten dalam memegang prinsip hidup dan keagamannya. Beliau mengajarkan kepada semua santrinya akan kebesaran dan kemuliaan status ulama yang melekat pada diri ulama, harus dijaga dan dipelihara dari kontaminasi  kepentingan sesaat.

Sebagai seorang ulama yang dikenal dekat dengan pemerintah, beliau tidak menjadikan dirinya sebagai corong pemerintah, mengamini semua yang disampaikan pemerintah. Beliau tetap kepada prinsipnya, bahwa jika yang dilakukan pemerintah itu benar, beliau dukung. Sebaliknya jika salah, beliau yang pertama mengingatkan.

Selain memimpin Pondok Pesantren Jamiatul Mukminin, Buya Azwar Tuanku Sidi juga dikenal dengan juru dakwah yang vokal (orator), tidak saja di Padangpariaman, tapi juga sudah merambah ke luar Sumatera Barat.

Sedangkan buku kedua, ”Mereka Yang Terlupakan, Tuanku Menggugat” berisi tentang kiprah tuanku alias ulama yang identik dengan surau dan pesantren, karena di mana ada tuanku, di sana ada surau dan pesantren. Seyogyanya program pemerintah daerah tentang kembali ke surau itu adalah memposisikan tuanku sebagai penggerak utama surau dengan semua konsekuensinya.

Pemberdayaan tuanku secara komprehensif dalam semua bidang dan pesantrennya adalah jawaban dari program tersebut. Seiring dengan merosotnya moral anak bangsa ,  maka peran tuanku sebagai pengawal moral masyarakat akan sangat strategis. Di samping itu tuanku juga merupakan penjaga dan penyelamat tradisi (budaya) Minangkabau

Secara optimis, penulisnya menyebut, meski tuanku sering disebut dengan sebutan ulama tradisional dan kuno, namun seiring dengan persaingan budaya global tuanku jadi lebih unggul dengan ketradisionalan dan kekunoannya.(nam)