Jakarta, NU Online
Pesantren yang banyak dimiliki oleh warga NU merupakan lembaga pendidikan yang berakar dari masyarakat. Institusi ini pertama kali dimulai pada abad 11 Masehi ketika Dharmawangsa dari Kerajaan Dhoho Kediri mendirikan padepokan. Para murid biasa disebut dengan catrik yang harus memahami kita-kitab Hindu. Kata ini merupakan akar kata santri yang merupakan orang yang belajar agama Islam.
Hal tersebut dikemukakan oleh KH Said Aqil Siradj dalam Seminar Manajemen Pendidikan di Gd PBNU Lt 8, Sabtu (11/6). Kegiatan ini diselenggarakan oleh alumni short coure Education Management Training Program di Leeds University Inggris. Para peserta kursus tersebut diharapkan menyebarluarkan ilmu yang mereka peroleh selama disana kepada institusi pendidikan dan pesantren di lingkungan sekitaranya.
<>Kang Said mengungkapkan bahwa pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan Islam berawal ketika para kyai yang memiliki darah biru keluar dari keraton yang kala itu sudah terkontaminasi dengan budaya Belanda. “Kalah tapi selamat, meninggalkan urusan duniawi, tetapi menyelamatkan agama. Makanya kebanyakan pesantren berada di kampung-kampung,” tandasnya.
Pesantren memang lahir dari gagasan ide yang belum termanage dengan baik, ide individual yang dengan niat tulis ikhlas didukung masyarakat pesantren. Kang Said menambahkan silahkan saja pesantren dikritik untuk memajukannya, tetapi jangan menafikan kontribusi luar biasanya di masa lalu.
Diungkapkannya terdapat tiga hal yang belum dikenal di pesantren. Pertama, Attamaddun, atau memajukan pesantren. Banyak pesantren yang masih dikelola dengan sederhana manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani sendiri oleh kyai. Dalam hal ini pesantren harus segara berbenah.
Selanjutnya adalah Tsaqobah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan pada umat Islam, mendidik umat Islam supaya kreatif, produktif, tetapi tidak melupakan orisinilitas Islam. “Salah satu contoh keberhasilan yang saya tahu adalah Pesantren Sidogiri di Pasuruan. Mereka masih pakai sarung, cium tangan kyai, dan tradisi lainnya. Tapi mereka sudah terkomputerisasi, memiliki badan usaha sendiri, sudah memiliki asset milyaran yang kyai tak ikut campur,” tambahnya.
Terakhir adalah Hadhoroh, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini bagaimana budaya kita diwarnai jiwa dan tradisi Islam. Saat ini yang sangat ketara adalah adopsi dari kata-kata bahasa Arab yang masuk menjadi bahasa Indonesia seperti kata-kata adil, dewan, musyawarah dan lainnya, rahmat, nikmat, lezat. Pesantren diharapkan terus menumbuhkan tradisi dan budaya yang lebih Islami.(mkf)
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua