Persoalan Terorisme harus Dilihat Secara Lokal
NU Online · Kamis, 19 November 2009 | 13:20 WIB
Terorisme telah mengancam kedamaian masyarakat di berbagai belahan dunia. Berbagai tipe dan motif kekerasan dilakukan, yang meskipun mirip memiliki berbagai karakteristik lokal.
Leonard C. Sabastian, ketua departemen International Studies, Nanyang Technological University Singapura berpendapat, untuk bisa mengatasi masalah terorisme secara efektif, harus dilihat dari aspek lokalnya.<>
Hal ini disampaikan dalam workshop Raising Awareness of the UN Global Counter-Terrorism Strategy Among Civil Society in Southeast Asia yang diselenggarakan PBNU dan Center on Global Counterterrorism Cooperation di Jakarta, Kamis (19/11).
Ia menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tumbuhnya terorisme, diantaranya adalah ketidakpastian politik, keterpurukan sosial, pemerintahan yang buruk dan lemah dan ditambah adanya ideologi sebagai pemicu. Secara internasional, faktor ketidakseimbangan antara kekuasaan dan kekayaan di Barat dan Negara lain juga menjadi pemicu.
Dari aspek lokal ini, faktor mana yang paling dominan sebagai penyebabnya dapat dianalisis dan diatasi dan dicarikan solusinya.
“Teror bukan dianggap masalah global saja, ada interkonektifitas sehingga harus melihat faktor-faktor utama di setiap negara,” katanya
Ia juga menjelaskan beberapa ciri kalangan muda yang mudah dimanipulasi untuk melakukan tindakan teror. Para kadernya merupakan orang muda yang pinter, berani dan terhormat sehingga merasa harus memperjuangkan kehormatannya.
“Karena latar belakang orang-orang ini yang mendorong mereka untuk mencari kepercayaan diri untuk membuktikan siapa mereka terhadap komunitasnya,” katanya.
Sementara itu, perubahan yang terjadi dari kalangan moderat yang menjadi radikal biasanya didorong oleh masalah keuangan dan kurangnya pendidikan serta keterpurukan sosial sehingga mudah dimanipulasi oleh para aktor untuk menjadi martil.
Disinilah menurutnya mengenai pentingnya civil society yang mampu dan bisa melihat berbagai faktor yang tak terjangkau oleh hukum karena mereka hidup dan dekat dengan kelompok-kelompok tersebut.
Sementara itu Kepala Densus 88 Usman Nasution menggambarkan para pelaku teror selalu menjadikan target adalah apa yang berhubungan dengan Amerika Serikat, Barat dan sekutunya dengan menyerang fasilitas umum seperti hotel atau transportasi publik.
Hal ini dikarenakan kebijakan AS dan sekutunya dalam memberantas terorisme yang menggunakan pendekatan kekerasan sehingga dibalas dengan kekerasan, sebagai balas dendam atas perlakuan terhadap anggota Jamaah Islamiyah atau Al Qaidah.
Faktor lokal yang mempengaruhi diantaranya adalah masalah ketidakadilan dan konflik yang menimpa muslim, seperti yang terjadi di Ambon sehingga orang-orang yang frustasi dan memiliki pemahaman yang salah terhadap Islam membalasnya dengan tindak kekerasan.
“Bagi kelompok ini, tindakan terorisme dianggap sebagai amaliah dan kelompok di luar mereka dianggap kafir dan layak dibunuh,” tandasnya.
Usman menjelaskan perbedaan antara terorisme dan separatisme, berdasarkan definisi UU, terorisme adalah meraka yang membuat keresahan yang meluas. Karena sifatnya yang membuat keresahan, separatisme juga bisa dikategorikan sebagai terorisme. Ia mencontohkan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang melakukan tindakan kekerasan di Jakarta bisa dianggap sebagai teroris karena permasalahan GAM adalah persoalan lokal di Aceh.
Memberantas Akar Terorisme
Sementara itu Noor Huda Ismail, wakil direktur Sekurindo Global Consulting menjelaskan, terorisme harus diberantas sampai ke akar-akarnya karena para pengikut yang sebelumnya hanya menduduki posisi bawahan, ketika petingginya mati bisa naik posisi dan menggantikan kedudukannya.
Ia mencontohkan Urwah, pada peristiwa bom Bali, ia hanya seorang pesuruh, tetapi menjadi pentolan dalam tindakan terorisme setelahnya karena pada petingginya sudah mati atau ditahan.
Alumni pesantren Ngruki ini juga menjelaskan, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya terorisme. Salah satu teman sekamarnya di pesantren itu menjadi teroris sementara ia menjalani kehidupan yang berseberangan.
Mengenai Jamaah Islamiyah, ia menjelaskan kategori tiga kelompok, yaitu golongan putih, yaitu orang yang sama sekali tidak mau berhubungan dengan pemerintah dan polisi, golongan hitam, orang yang mau bekerjasama dengan polisi sementara golongan abu-abu adalah orang yang belum jelas posisinya. (mkf)
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua