Warta

Perlu Paradigma Baru Mensikapi Ramadhan

NU Online  ·  Kamis, 30 Oktober 2003 | 15:38 WIB

Jakarta, NU Online
Sukarni, dosen Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin mengingatkan umat Islam harus belajar dan bisa menyeimbangan dalam menghargai waktu, jangan sampai berlebih-lebihan.

Pasalnya selama ini ada semacam tradisi sebagian umat Islam yang terkesan berlebih-lebihan dalam menyikapi bulan Ramadhan, sehingga terjadi kurang seimbangan menghargai bulan-bulan komariah lainnya sepanjang tahun hijriyah tersebut, ujarnya usai shalat tarwih di Mushalla Darul Fa’izin Komplek Beruntung Jaya Banjarmasin, Kamis malam.

<>

Menurut dia, tradisi yang terkesan berlebih-lebihan dan kekurang seimbangan dalam mengharga waktu (bulan) tersebut bisa berdampak kurang baik pula terhadap kehidupan kaum muslim sehari-hari.

Sebagai contoh tradisi yang berlebih-lebihan menyikapi tibanya Ramadhan, antara lain mengkultuskannya sabagai bulan suci seperti banyak terlihat/terbaca pada sejumlah spanduk yang terpampang di tengah khalayak, sehingga ketika berada di awal bulan tersebut semangat umat Islam tampak tinggi, tetapi kemudian mulai mengendur.

Contoh yang sederhana dari tradisi yang berlebih-lebihan menyikapi tibanya Ramadhan, lanjutnya, pada bulan tersebut dilakukan tadarus dengan penuh semangat, sehingga terkadang dalam sehari bisa satu-dua juz, tetapi apa setelah Ramadhan atau pada bulan-bulan lain apakah juga sama ataukah tak ada lagi kegiatan serupa.

Bahkan penyikapan yang berlebih-lebihan terhadap Ramadhan juga terjadi pada kalangan wakil rakyat, seperti yang duduk di DPRD bersama-sama dengan pihak eksekutifnya mengelurkan peraturan daerah (Perda) Ramadhan isinya antara lain larang terhadap "warung sakadup".

Perda produk legislatif bersama eksekutif itu terkesan hanya untuk sesaat, tetapi bagaimana pengaturan selanjut terhadap segala bentuk kemaksitan tampaknya kurang menjadi perhatian.

"Menyikapi dengan berlebih-lebihan dan menjadikan Ramadhan sebagai bulan suci harus diubah dengan paradigma baru dari pemikiran umat Islam. Karena baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Muhammad SAW tak ada satu pun penegasan yang menyatakan bahwa Ramadhan itu merupakan bulan suci," tandasnya.

Tetapi memang benar kalau dalam Al Qur’an maupun Al Hadits bahwa Ramadhan itu merupakan bulan penuh rahmat dan maghfirah dari Allah SWT, ujar dosen Fakultas Syari’ah IAIN Antasari yang mengasuh mata kuliah politik Islam tersebut.

Dengan menukil sabda Rasulullah SAW, dia mengungkapkan, bahwa Nabi Muhammad dalam melaksanakan shalat tarwih berjemaah pada malam ketiga tidak lagi turun ke masjid, yang kemudian diantara sahabat menanyakan sikap Muhammad SAW tersebut.

"Namun ketika itu Nabi Muhammad SAW menjawab dengan agak diplomatis bahwa dia hanya khawatir, kalau-kalau ummat pengikutnya nanti mewajibkan shalat tarwih tersebut. Jika dianggap wajib, ’apakah manuntung’ (bisa memepertahankan/melaksanakan secara terus menerus)," ungkap dosen IAIN Antasari yang tergolong muda itu.

Justru, tuturnya, dalam Al Qur’an Allah SWT menegaskan bahwa sepanjang tahun hijriyah itu ada empat bulan yang dinyatakan sebagai "bulan haram" dimana pada waktu tersebut dilarang pertumpahan darah yaitu bulan Rajab, Zulka’idah, Zulhijjah dan Muharram.

Oleh sebab itu jangan keliru dan berlebih-lebihan dalam menyikapi tibanya Ramadhan, tetapi seimbangkan dengan bulan-bulan lain yang juga harus diisi berbagai amal kebaikan, sesuai tuntunan Islam sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits, demikian Sukarni.(mkf)