Warta

Perempuan Kepala Keluarga Umumnya Menderita

NU Online  ·  Senin, 21 November 2011 | 15:01 WIB

Semarang, NU Online
Perempuan  karena keadaan harus menjadi kepala keluarga, umumnya menderita. Ia harus bekerja untuk menafkahi diri dan anak(-anaknya), sekaligus kadang cucu bahkan suaminya. 

Derita mereka, tak hanya soal katerbatasan akses rejeki, tetapi juga nestapa batin sejak berstatus Perempuan Kepala Keluarga (Pekka). Sebab umumnya Pekka adalah wanita yang ditinggal  mati suami tanpa warisan berarti, atau ditinggal minggat suami, atau dicerai suami tanpa tanggungjawab menafkahi. <>

Ada pula Pekka akibat suami cacat fisik atau tak bisa lagi bekerja karena PHK. Bebannya jadi ganda, dan negara tak pernah hadir membantu mengentaskan kesusahannya. 

Demikian simpulan hasil penelitian bertajuk Jejak-Jejak  Perempuan Muslimah Sebagai Pekka yg dilakukan di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur yang dilaksanakan para peneliti muda Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama Semarang. Pemaparan hasil riset dilakukan selama dua hari di Aula Balai Litbang Agama Semarang, Jum’at-Sabtu (18-19/11) lalu. 

Dimoderatori pengasuh rubrik Konsultasi Keluarga Harsem Jauharotul Farida, para peneliti yang telah melakukan riset selama satu bulan mempresentasikan temuannya satu persatu dengan analisa kualitatif. 

Menggunakan teknik wawancara dan observasi subyek, para peneliti mengungkap kehidupan kaum Pekka di Keraton Surakarta Hadiningrat, Pekka di desa pertanian tembakau di Parakan Temangung, dan desa pertanian padi di Dander Kabupaten Bojonegoro, serta desa nelayan di Jepara dan Muncar Banyuwangi. 
Juga riset atas Pekka di kawasan industri di Surabaya. Adapun di DIY, yang diteliti adalah Pekka di Mantrijeron Kota Yogyakarta yang rata-rata menggugat cerai karena suaminya selingkuh atau tidak bertanggungjawab kepada keluarga. 

Abdul Kholiq yang meneliti di Jepara mengungkapkan, nelayan dan perempuan identik dengan kemiskinan. Jika menyebut nelayan perempuan, maka pasti mereka orang miskin. Sebab nelayan adalah dunia lelaki, dalam arti melaut. 

Sedangkan nelayan perempuan adalah orang yang hanya memunguti hewan laut di pingiran pantai seperti Brayo, menjadi buruh gendong garam, atau sekedar menjadi penjaja ikan panggang.

Koeswinarno yang meneliti kehidupan Pekka di Temanggung mengungkapkan, para pria petani tembakau di Parakan suka main perempuan jika hasil panen sukses. Begitu memegang uang banyak, para istri petani jadi menderita karena ditinggal selingkuh atau dicampakkan oleh suami yang mengawini perempuan lain. Akibatnya, angka perceraian dan penyakit AIDS meningkat drastis setiap kali musim panen tembakau tiba.   

Sementara penelitian di Kraton Surakarta Hadiningrat juga menemukan kenyataan, para perempuan yang menjadi abdi dalem di keraton sangat tidak layak hidupnya. Mereka hanya mendapat semacam upah Rp 35 sampai Rp 63 ribu per bulan karena yang dilakukan dinilai sebagai pengabdian kepada raja. 

Penelitian juga dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana hasil Program Pemberdayaan Pekka yang dirintis KOmnas Perempuan.  Sebab menurut data Seknas Pekka tahun 2009, umumnya Pekka berpendidikan rendah, lebih 38 persennya buta huruf dan tidak pernah sekolah. 

Mereka berusia 20-60 tahun dan rata-rata menanggung 1-6 orang dengan pekerjaan di sektor informal semacam buruh, pendapatannya kurang dari Rp 10 ribu per hari. Tercatat 55% Pekka yang diperkirakan 9 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan, dan sepertiganya tidak mendapat akses Jamkesmas maupun BLT.

Kepala Balai Litbang Keagamaan Semarang Arifuddin Ismail menyatakan, Menteri Agama sejak masa Maftuh Basyuni menetapkan, setiap kebijakan Kementrian Agama harus berdasar riset. Jadi, penetilian tersebut merupakan bagian dari bahan untuk membuat kebijakan menteri agama di bidang pembinaan keluarga muslim/muslimah. 

“Penelitian ini merupakan pelaksanaan Rencana Strategis Kementrian Agama tauhn 2010-2014 untuk peningkatan pembinaan dan pemberdayaan keluarga sakinah melalui pengelolaan urusan agama islam dan pembinaan syariah,” tuturnya. 

Beberapa tokoh diminta mengulas hasil riset tersebut. Salah satunya Direktur LRC-KJHAM Evarisan yang memberikan catatan kritis. Dia mengomentari, para peneliti masih memakai bahasa verbal yang bias gender, serta semua peneliti adalah laki-laki. Ia merekomendasikan, Kementrian Agama harus merekrut perempuan dan jumlahnya harus seimbang jika ingin meneliti lagi soal perempuan. 


Redaktur : Syaifullah Amin