Warta

Pengenaan Pajak Progresif Bukan Solusi Haji

NU Online  ·  Senin, 9 Februari 2004 | 12:15 WIB

Jakarta, NU.Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi mengatakan larangan orang yang melakukan haji lebih dari tiga kali sebaiknya dilakukan melalui himbauan. Cara melalui sangsi atau pengenaan pajak progresif tidak dapat mencegah orang untuk menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali.

"Orang pergi haji itu pasti kepingin lagi, itu soal panggilan hati, kalau tidak percaya coba anda pergi haji sendiri," ujar Hasyim Muzadi kepada wartawan usai menemui Delapan LSM yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Penyelenggaraan Haji (Korup Haji) yakni, Government Watch (Gowa), Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Lembaga Advokasi Rabithah Haji Indonesia (RHI), Pusat Hukum dan HAM (PHAM), Lembaga Studi dan Advokasi Maslahat Haji, serta Lembaga Konsumen Jakarta  di kantor PBNU, Jakarta (09/01).

<>

Lebih lanjut Hasyim Muzadi menjelaskan, memang tidak mudah mengatur lebih dari 200 juta jiwa yang mayoritas beragama Islam, yang mempunyai kehendak sama menjalankan ibadah haji bagi yang mampu, sementara ada pembatasan kuota dari Arab Saudi sebagai tuan rumah. Untuk itu, Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk dapat mengatur dan melayani tiap warga yang akan melakukan ibadah haji.

Menurut Hasyim pemberlakuan pajak progresif hanya akan memberi kesempatan lebih banyak orang yang kaya untuk  melakukan ibadah haji. Sebaliknya orang yang pas-pasan kesempatannya akan lebih kecil untuk menunaikan haji ke tanah suci. "Saya kira kita hanya bisa memberi pengertian kepada orang yang pernah ibadah haji untuk satu kali saja dan memberi kesempatan kepada yang belun pernah," ungkapnya.

Sementara itu Kordinator KORUP Haji, Farid Faqih menambahkan, pajak progresif yang dikenakan terhadap perjalanan ibadah haji merupakan upaya pemerasan pemerintah kepada rakyat dan tindakan ini hanya akan menambah masalah. Pengenaan pajak itu tidak diperlukan mengingat sudah 36 item keperluan jama'ah haji semuanya telah kenakan pajak, "semua itu kan sudah pajak final dan tak perlu ada penambahan lagi," ungkap Farid.  Menurutnya, upaya ini dilakukan karena mereka melihat ada pasar yang sangat potensial untuk mendapatkan masukan. Kalau saja dikenakan pajak 10% disitu ada sekitar 2 juta dolar setahun yang bisa dihasilkan dari pajak, "ini tidak fair mengingat keperluan jama'ah haji sudah dikenakan pajak," katanya.

Farid juga menampik usulan pajak progresif sebagai sebuah solusi, meskipun mengacu pada fungsi budjeter dan fungsi reguler, dalam soal pembatasan jama'ah ."Apapun yang dilakukan kalau untuk pembatasan ibadah haji tidak akan ada gunanya, orang kan bisa mengeluarkan uang dan kemudian yang  terjadi adalah bahwa mereka yang kaya bisa melakukan haji berkali-kali sedangkan yang miskin tidak bisa," tegasnya.

Karena itu, lanjut farid, yang diperlukan adalah pemerintah menetapkan aturan, seperti yang dilakukan Malaysia dengan Tabung Haji, jadi mereka yang berangkat haji harus mendaftar 5 tahun sebelumnya. Dari situ kemudian data base yang dimilikinya mencatat, bagi yang sudah berangkat tidak bisa berangkat lagi (cih)