Warta

PBNU Minta Pembubaran Ormas Anarkis Melalui Pengadilan atau MA

NU Online  ·  Kamis, 10 Februari 2011 | 06:04 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf sependapat dengan pemerintah jika ormas yang melakukan tindakan anarkis dibubarkan, tetapi dalam prosesnya, agar tidak menimbulkan problem baru, pemerintah sebaiknya mengajukan ke pengadilan atau minta fatwa Mahkamah Agung (MA).

UU Keormasan nomor 8 tahun 1985 memungkinkan dilakukannya pembubaran ormas. Namun demikian, UU ini merupakan bagian dari 5 paket UU Politik yang dibuat oleh rezim orde baru yang sangat berorientasi pada penguatan posisi negara berhadapan dengan masyarakat sehingga UU ini sudah tidak cocok dengan alam demokrasi saat ini.<>

“Karena itu, demi kehati-hatiandan tidak merusak prinsip demokrasi, khususnya dengan kebebasan berserikat, sebaiknya pemerintah mengajukan ke pengadilan atau minta fatwa ke MA sehingga kita disatu sisi bisa menyelesaikan persoalan, yaitu dengan cara likuidasi dari ormas yang sering berbuat anarkis, tapi disisi lain, kita tetap menjaga format demokrasi dari negara kita,” katanya.

Selanjutnya, Slamet meminta agar mereka yang terlibat secara langsung, baik kekerasan fisik maupun non fisik yang mengakibatkan kerusuhan dan disharmoni harus dihukum.

“Bukan hanya yang terlibat kasus saja, tetapi juga menangani fihak diatasnya yang memiliki pengaruh lebih dahsyat,” tuturnya.

Dialog

Kelemahan dari pembubaran ormas adalah, para pengurus ormas yang dibubarkan dengan gampang bisa mendirikan organisasi baru dengan struktur sama persis dari ormas sebelumnya. Hal lain yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan dan pembinaan melalui dialog.

“Yang saya sesalkan adalah, selama ini, kelompok yang disebut hard liners, ketika tokoh agama berbicara tentang kerukunan dan harmoni, mereka tidak diajak serta.,” tandasnya.

Bahkan berbagai majelis agama dan kelompok agama mainstream, tidak pernah secara khusus dan terencana melakukan dialog dengan kelompok garis keras tersebut, padahal garis keras ada di semua agama.

“Jadi seharusnya mereka diajak bicara untuk membangun harmoni dengan dasar-dasar sikap tasamuh (toleran) dan tawassuth (moderat),” ungkapnya

Selama ini orang yang memiliki kesadaran kerukunan, hanya berbicara antar kelompoknya sendiri dan mengeksklusi yang dianggap keras sehingga mereka berada di dunianya sendiri, bukan dalam lingkaran dialogis.

“Mereka terus kita kucilkan, hanya kita kecam tanpa pernah diajak ngomong,” tandasnya

Slamet juga menegaskan, UU Keormasan tersebut harus segera dilakukan amandemen aar sesuai dengan zaman sekarang sebagaimana revisi yang sudah dilakukan terhadap empat UU Paket Politik lainnya. (mkf)