Warta

PBNU Keluarkan Aturan Rangkap Jabatan Baru

NU Online  ·  Kamis, 7 April 2005 | 07:37 WIB

Jakarta, NU Online
Sebagai upaya untuk menegakan kembali jati dirinya sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah yang mandiri secara politik menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik, dan dengan kesadarannya merasa perlu untuk meningkatkan perannya di masyarakat, PBNU mengeluarkan aturan baru tentang rangkap jabatan bernomor 015/A.II.04d/III/2005

Bab I pasal 1 ayat 1 a, b, c, d menjelaskan bahwa pengurus NU yang dilarang untuk rangkap jabatan meliputi seluruh pengurus harian NU, lembaga, lajnah dan badan otonom di semua tingkatan.

<>

Sementara itu bab I pasal 2 menjelaskan: Yang dimaksud dengan jabatan politik dalam peraturan ini adalah meliputi jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, anggota DPR/DPRD dan anggota DPD.

Terdapat dua ketentuan pelarangan rangkap jabatan, yaitu perangkapan jabatan di lingkungan NU yang mana seseorang tidak boleh merangkap jabatan di jajaran syuriyah, tanfidziyah, lembaga, lajnah dan badan otonom di semua tingkatan. Ketentuan ini termaktub dalam pasal 2 sampai pasal 4 yang terdiri dari 11 ayat.

Selanjutnya PBNU juga melakukan pelarangan rangkap jabatan politik atau organisasi yang berafiliasi kepadanya.

Pasal 5 menjelaskan Jabatan pengurus harian syuriyah, pengurus harian tanfidziyah, pengurus harian lembaga, pengurus harian lajnah, dan pengurus harian badan otonom pada semua tingkat kepengurusan tidak dapat dirangkap dengna jabatan pengurus harian partai politik pada semua tingkatan. Ketentuan yang sama berlaku pula pada organisasi yang berafiliasi kepada partai politik pada semua tingkat kepengurusan di pasal 6.

Dalam hal ini mereka yang dicalonkan atau mencalonkan diri dalam pengurus harian parpol atau organisasi yang berafiliasi kepadanya harus non aktif sementara dan harus mengajukan pengunduran diri selambat-lambatnya 1 bulan setelah penetapan definitive jabatan di parpol atau organisasi yang berafiliasi.

Sementara itu pasal 9 dan 10 memberikan penjelasan yang lebih detail tentang perangkapan jabatan secara lebih khusus kepada pimpinan di kalangan syuriyah dan tanfidziyah.

Pasal 9 berbunyi Jabatan rais aam, wakil rais aam, rais syuriyah pengurus wilayah dan rais syuriyah pengurus cabang tidak dapat dirangkap dengan jabatanpresiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, anggota DPR/DPRD dan anggota DPD.

Pasal 10 berbunyi Jabatan ketua umum tanfdiziyah pengurus besar, ketua tanfidziyah pengurus wilayah dan ketua tanfidziyah pengurus cabang tidak dapat dirangkap dengan jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubenur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, anggota DPR/DPRD dan anggota DPD.

Selanjutnya dijelaskan pula dalam pasal 13 : Peraturan ini tidak beralaku bagi pengurus harian di lingkungan Nahdlatul Ulama yang sebelum peraturan ini diberlakukan telah merangkap dengan jabatan politik sebagaimana termaktub pada pasal 9 dan 10.

Peraturan ini ditetapkan pada tanggal 10 Shafar 1425/21 Maret 2005 dengan ditandatangai oleh Rais Aam Dr. KH. AM SAhal Mahfudh, Khatib Aam Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, Ketua Umum H.A. Hasyim Muzadi dan Sekretaris Jenderal Dr. Endang Turmudi, MA.

Ketua PBNU Ahmad Bagdja menjelaskan bahwa seluruh badan otonom juga harus mengikuti ketentuan ini karena untuk urusan eksternal, apalagi menyangkut aspek politis, maka badan otonom harus mengikuti aturan PBNU sedangkan untuk urusan internal mereka dapat membuat aturan sendiri dalam Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT).(mkf)