Warta

Partai Curi Start Kampanye Lanjutkan Budaya Orde Baru

NU Online  ·  Rabu, 7 Januari 2004 | 11:00 WIB

Jakarta, NU.Online
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit mengatakan partai politik (parpol) peserta pemilu yang mencuri start kampanye sesungguhnya merupakan bagian dari upaya meneruskan budaya Orde Baru (Orba) yang biasa mengedepankan cara-cara non prosedural.

“Dalam masa Orba, politik itu hanya dalam pemilu. Nah, di luar itu kegiatan politik sangat dibatasi sehingga orang terpaksa melakukan kegiatan politik dengan curi-curi,” ungkapnya kepada NU.Online

<>

Dikatakan Arbi Situasi saat ini, sudah berubah dan kegiatan politik bisa dilakukan tanpa pembatasan seperti pada masa Orba. Dalam kaitan dengan kegiatan kampanye, hanya diperlukan pembedaan yang tegas antara kegiatan rutin peserta pemilu dan kegiatan kampanye peserta pemilu. “Masalahnya, bukan lagi curi start atau tidak, tapi perlu dibedakan kegiatan rutin dan kampanye,” ujarnya.

Lebih jauh Arbi Sanit mengatakan memang secara hukum sanksi bagi peserta pemilu yang curi start kampanye sangat lemah. Untuk itu, ketentuan dalam UU itu harus didampingi dengan kode etik bersama, yang jika dilanggar akan terkena sanksi moral. Arbi Sanit mengatakan itu dalam kesempatan Diskusi Bulanan beberapa hari lalu di gedung PBNU, mengenai sanksi hukum yang sangat lemah bagi peserta pemilu yang curi start kampanye. Sesuai ayat (3) Pasal 138 UU Pemilu, orang yang melakukan kampanye di luar jadwal yang ditentukan KPU diancam penjara paling singkat 15 hari dan paling lama tiga bulan atau denda minimal Rp 100 ribu dan maksimal Rp 1 juta.

Menurut Arbi, sanksi itu sangat ringan sehingga secara hukum sangat sulit mengontrol pelanggaran kampanye. Kelemahan itu, katanya, harus ditutupi dengan kode etik bersama antara parpol. “Apa yang direncanakan KPU itu bagus dan perlu segera direalisasikan. Kalau hukum lemah, maka harus didukung ketentuan etik,” katanya.

Dengan kode etik, masyarakat akan ikut serta melakukan pengawasan etik, dengan didukung KPU dan Panwas. “Bisa saja Panwas menyatakan telah terjadi pelanggaran etik. Hal ini bisa melahirkan sanksi moral bagi pelanggar,” tuturnya. Arbi mengatakan, meskipun sanksi hukum dianggap lemah, tapi dengan vonis bersalah dari pengadilan terhadap peserta pemilu, juga dengan sendirinya mengandung sanksi moral bagi pelaku pelanggaran. Hal itu, tambahnya, akan mempengaruhi citra dari peserta pemilu yang bersangkutan, demikian Arbi Sanit (cih)