Warta

Panwasda DKI Diminta Jeli Awasi Politisasi Agama

NU Online  ·  Senin, 30 Juli 2007 | 08:13 WIB

Jakarta, NU Online
Panitia Pengawas Pilkada (Panwasda) DKI Jakarta diminta lebih jeli mengawasi politisasi agama dalam kampanye para calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub). Pasalnya, meski batasan boleh tidaknya menggunakan agama dalam kampanye sangat tipis, namun bisa berakibat fatal. Salah-salah dapat menimbulkan konflik antar-massa pendukung cagub dan cawagub.

“Pengawas (Panwasda, Red) harus betul-betul tegas, harus lebih jeli (terhadap politisasi agama). Kalau agama dipakai untuk menyudutkan atau menjelekkan lawan, maka bisa menjadi konflik,” terang mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Rozy Munir kepada wartawan di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (30/7).<>

Rozy yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengakui, memang cukup sulit untuk mencegah penggunaan ajaran-ajaran agama dalam kampanye, karena di dalam setiap agama juga banyak hal-hal yang perlu diperjuangkan. Namun demikian, hal itu dapat diketahui jika pihak berwenang, yakni Panwasda lebih jeli mengawasinya.

“Kalau, misal, seorang juru kampanye menggunakan dalil agama bahwa “Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin’ atau memakai dalil-dalil tentang pengentasan kemiskinan, penegakan hukum dan keadilan, dan sebagainya, nggak apa-apa toh. Tidak masalah,” ujar Rozy.

Ia menegaskan, penggunaan agama justru akan menjadi masalah jika digunakan untuk menyudutkan, menjelekkan atau menjatuhkan pasangan cagub dan cawagub lainnya. “Nah, di sinilah dibutuhkan kejelian Panwasda. Kalau sudah menjelekkan lawan pakai dalil agama, itu celah terjadinya konflik,” pungkasnya.

Selain politisasi agama, tambah Rozy, hal lain yang perlu diperhatikan Panwasda adalah penggunaan fasilitas negara oleh para cagub dan cawagub atau tim suksesnya. Pengalamannya saat Pemilu 2004 silam, banyak ditemui sejumlah pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.

“Kalau itu jelas ukurannya. Jangan sampai terjadi. Karena Pilkada DKI Jakarta ini merupakan ukuran penyelenggaraan Pilkada bagi daerah-daerah lainnya. Demokratis atau tidak, jadi contoh bagi daerah lainnya,” jelas Rozy. (rif)