Pancasila Tidak Harus Jadi Azas Tunggal Tapi Jadi Azas Bersama
NU Online · Ahad, 24 Mei 2009 | 06:39 WIB
Pancasila, demokrasi, dan wawasan kebangsaan memiliki hubungan saling terkait satu sama lain. Demokrasi tanpa sikap bertanggung jawab hanya akan memunculkan anarki. Generasi muda yang diharapkan menjadi penerus perjuangan bangsa diminta tak frustasi menyikapi situasi demokrasi saat ini. Keluarga tetap menjadi tumpuan sumber generasi baru yang berkualitas mengawal negara ini.
''Demokrasi itu adalah kesetaraan. Sebuah kebersamaan yang bertanggungjawab,'' kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, dalam seminar nasional yang digelar GP Ansor Kalimantan Selatan, Sabtu (23/5). Ketika demokrasi itu tidak dilaksanakan secara bertanggungjawab, ujar dia, yang terjadi adalah anarki.<>
Menurut Meutia, bicara demokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Pancasila dan wawasan kebangsaan. Karena demokrasi di Indonesia bertumpu pada roh sila keempat Pancasila. Intepretasi salah akan menimbulkan perilaku yang tak sesuai dengan hakekat demokrasi Indonesia itu. ''Demokrasi Indonesia sudah diletakkan founding fathers kita berdasarkan pluralitas Indonesia,'' kata Meutia.
Berbeda dengan demokrasi di Barat yang bertumpu pada individu, kata Meutia, demokrasi Indoensia meletakkan kepentingan masyarakat pada posisi lebih utama. Yaitu pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, walau tidak berarti kepentingan atau hak individu diabaikan.
Meutia pun mengatakan Pancasila adalah azas bersama Indonesia yang digali oleh Soekarno - proklamator Indonesia - dari seluruh penjuru Indonesia. Pelaksanaan demokrasi pun harus berdasarkan prinsip ke-Tuhan-an, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan, dan keadilan sosial. ''Pancasila tidak harus menjadi azas tunggal, tapi merupakan azas bersama,'' kata dia. Meutia menegaskan tak ada pertentangan sama sekali antara agama - apapun - dengan Pancasila.
Wawasan kebangsaan pun menurut Meutia harus direvitalisasi. Dia menyatakan prihatin dengan pengetahuan generasi sekarang yang sangat minim tentang negaranya sendiri. Menurut dia, pada zaman Soeharto, soal wawasan kebangsaan dijaga dengan sistem penataran P4 yang terseragam. ''Tidak harus terseragam, tetapi wawasan kebangsaan harus dibangkitkan dengan mengedepankan sifat setara antardaerah,'' kata dia.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, mengatakan politik tidak bisa menjadi solusi bagi peningkatan kualitas demokrasi Indonesia. ''Harus ada reformasi budaya,'' kata dia dalam acara yang sama. Tak hanya mengatasi masalah demokrasi, reformasi budaya ini juga akan menjadi obat bagi penyakit korupsi yang menggurita di Indonesia.
Mubarok memberikan contoh reformasi budaya ini, dengan WC. Pada masa lalu tempat ini dianggap sebagai tempat kotoran sehingga harus dijauhkan lokasinya dari rumah. Kondisinya pun kumuh. Tapi sekarang, ujar dia, WC pun ada di dalam kamar. Karena sekarang tempat itu sudah dianggap sebagai kebutuhan yang harus gampang dicapai. ''Selama korupsi tidak dianggap najis, penegakan hukum semata tak akan bisa menghentikan korupsi,'' kata dia.
Generasi muda pun dimintanya tak frustasi melihat situasi dan kondisi Indonesia saat ini dengan bersikap skeptis dan melakukan golput. Ibarat menabur benih di lahan tandus, kata dia, meski tak langsung terlihat hasilnya tapi pada musim penghujan kelak akan terlihat hasilnya. Jika tak seorang pun bertahan 'menebar benih', imbuh dia, yang akan tumbuh pada musim penghujan hanyalah ilalang. ''Idealisme itu butuh ketangguhan,'' tegas dia.
Mubarok menambahkan keluarga lah yang bisa menjadi basis munculnya orang-orang tangguh ini. Menganalogikan aliran sungai, jika sejak hilir hingga hulu kebersihannya dijaga, maka airnya akan senantiasa jernih. Salah satu kunci menghasilkan generasi berkualitas, ujar dia, adalah jangan pernah sekali-sekali memberi makanan dengan kandungan haram sekecil apapun pada keluarga.
Terkait soal semangat, Meutia menambahkan pendapat Mubarok. Dengan menuturkan kisah pembuangan tahanan politik di Boven Digul, Meutia mengatakan pengorbanan yang dilakukan para pejuang bangsa di masa lalu masih jauh lebih berat daripada sekarang. ''Pemuda jangan sampai patah semangat untuk terus maju menjadi contoh. Sekarang semangat berkorban surut karena terlalu banyak dicekoki iklan konsumtif,'' ujar dia. Meutia mengajak generasi muda untuk tak hanya mampu mengkritik, tapi juga bisa melakukan sesuatu yang membuat perbedaan bagi bangsa ini. (rep/mad)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
3
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
4
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
5
Pemerintah Perlu Beri Perhatian Serius pada Sekolah Nonformal, Wadah Pendidikan Kaum Marginal
6
KH Kafabihi Mahrus: Tujuan Didirikannya Pesantren agar Masyarakat dan Negara Jadi Baik
Terkini
Lihat Semua