Warta

Nilai-Nilai Aswaja Perlu Dibentengi dari Aliran Lainnya

NU Online  ·  Rabu, 6 Juli 2005 | 14:15 WIB

Bandung, NU Online
Nahdlatul Ulama lahir untuk mengajak umat Islam mengikuti ajaran Islam secara benar dan sempuma menurut sumber yang sah. Para Ulama menjelaskan bahwa sumber tersebut adalah rujukan umat Islam yang tidak bisa ditawar lagi. Rujukan tersebut adalah Al-Quran, Al-Hadits, Ijma' dan Qiyas, Tidak bisa hanya mengandalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits saja tapi juga Ijma' dan Qiyas. Demikian pendapat Ketua PW. ISNU Jawa Barat Prof Dr. H. L Nurol Aen, MA.

Ketika mengawali tema tentang "Membentengi nilai-nilai Ahlusunnah Wal Jamaah dari berbagai aliran teologi" dalam acara Pengajian Lailatul Ijtima bulanan setiap malam Rabu pertama yang dilanjutkan dengan dialog antara Pengurus NU dengan lembaga, lajnah dan badan otonom. Acara yang dibuka oleh Wakil Katua PWNU Jawa Barat bidang pengembangan SDM, Drs. H. Mach. Surjani Ichsan, MBA. sekitar pukul 20.00 sampai dengan pukul 2230 WIB.

<>

Prof. Aen, dernikian panggilannya, menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama dalam urusan fiqihnya berpijak pada salah satu madahab dari empat madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi dan Imam Hambali). Untuk urusan aqidah Nahdlatul Ulama mengikuti paham Abu Hasan Al Asy'ari. Jadi anggapan bahwa ciri khas NU sering dan banyak melakukan urusan fikih yang bersumber hadits yang dha'if seperti melakukan tahlilan dan lain-lain adalah tidak benar.

Guru Besar di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tersebut beralasan, misalkan tahlilan adalah kebiasaan jama'ah dilingkungan NU yang merupakan dorongan do'a untuk kaum muslimin yang telah mendahului kita dengan membaca ayat-ayat suci AI Qur’an.  Bacaan tersebut adalah sebagai dzikir dalam rangka mendekatkan dirt kepada Allah SWT. Dan dzikir adalah perintah Allah SWT kepada manusia. Perintah-Nya tertera dalam Al-Quran, yakni "Dan Ingatlah wahai sekalian manusia Berdzikirlah kepada Allah SWT dengan sebanyak-banyaknya.

Menurutnya, dalam urusan tasawuf, nahdliyyin merujuk kepada hujatul Islam Imam Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali yang juga diklaim sebagai madzabnya orang NU. Namun anggapan itu kurang tepat karena Imam Ghazali hidup sebelum Imam Syafi'i (sekitar tahun 150-an - 210 M). Sedangkan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i hidup setelah Imam Ghazali (sekitar tahun 206-an). Tidak mungkin Imam Ghazali bermadzhab kepada Imam Syafi'i.

Hadir pula pada acara tersebut Pembantu Rektor II IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Prof. Dr. H. Rahmat Syafe'i. Ia juga menambahkan untuk membentengi nilai-nilai Ahlussunah Wal-Jama'ah terdapat dua cara. Pendekatan pertama dengan meluruskan sejarah dan menjaga dengan pendekatan operasional (ibadah).

Beliau mencontohkan para generasi muda dari kampung yang hendak menuntut ilmu ke berbagai perguruan tinggi. Tak disadari bahwa mereka banyak mendapatkan informasi tentang berbagai aliran teologi, yang pada akhirnya mereka melakukan ibadah keluar dari ciri khas NU, bahkan ada yang pindah ke ormas yang lain.

Udin S Kontributor NU Online Jawa Barat