Jakarta, NU Online
Tidak bisa bangkitnya bangsa kita dari keterpurukan karena tak mau memutus dari kungkungan paham neoliberal."Kondisi ini yang kemudian menjadikan kita bangsa kuli di negeri sendiri," ungkap intelektual muda NU, Ahmad Baso dalam launching dan bedah bukunya Islam Pasca Kolonial di gedung PBNU, Kamis (7/7) kemarin.
Kondisi ini, lanjut Baso karena para intelektual kita adalah kroni-kroni didikan Barat yang menguasai birokrasi. "Ketika terjadi kesulitan politik dan ekonomi segera mereka meminta nasehat dari para imperialis-kolonialis. Lalu turun sejumlah konsultan asing, dan disertai training tenaga ahli Indonesia ke negaranya dengan biaya mahal, bahkan kemudian para pelajar dikirim untuk belajar berbagai ilmu di sana," ujarnya.
<>Akibatnya, ujar intelektual yang hanya lulusan pesantren ini, ribuan profesor yang dihasilkan dari sistem pendidikan kolonial itu tidak selangkahpun membuat kemajuan buat negeri ini. Politik semakin kacau. Ekonomi semakin merosot dan rupiah semakin tidak bernilai. Laju penduduk yang tidak terkendali dan tidak lagi bisa disantuni, sehingga mereka hidup menjadi budak bangsa lain sebagai buruh murahan atau sebagai kuli di negeri sendiri persis seperti di era Tanam Paksa di Jawa abad 19.
"Para insinyur banyak dihasilkan, tetapi tidak mampu melakukan pengembangan teknologi canggih, sehingga bangsa ini menjadi bangsa konsumtif," papar Baso dalam bedah buku hasil kerjasama LTN-NU dan Mizan.
Sistem kolonial itu kemudian menghasilkan pemikiran kolonial, program pendidikan dan latihan yang diperoleh adalah ilmu dan teknik penjajahan dan penaklukan, sehingga mereka menjadi pengumpan bangsanya kepada bangsa lain. Mereka tidak memiliki perasaan attachment dengan bangsa mereka sendiri, karena mereka lahir dari alam yang tidak memiliki tradisi dan tidak memiliki sejarah.
"Akhirnya kemandirian berpikir tidak ada, keberanian bersikap juga lenyap, karena itu setiap ada masalah selalu memanggil patronnya di Barat sana untuk memberi saran dengan dibayar mahal. Saran kolonial tidak lain adalah untuk menghancurkan negeri koloninya, untuk kemakmuran sang kolonial," ujarnya.
Dan parahnya, penindasan itu bukan hanya ada dalam bentuk ekonomi dan politik tetapi juga dalam agama. "Itulah mengapa Islam yang diperkenalkan oleh kolonialisme adalah Islam yang diatur, diadministrasi, dan mudah dikontrol. Sementara Islam yang dianggap liar, bebas, dan susah diatur seperti kelompok-kelompok mistik dan tarekat, digeser ke pinggir, dan dicap khurafat, urakan, dan juga kriminal. Pendekatan liberal terhadap Islam ini memungkinkan Belanda menempatkan Islam pertama-tama sebagai objek kajian, lalu sebagai objek pengawasan," paparnya dalam seminar yang juga dihadiri ketua PBNU, Masdar farid Mas'udi, Dosen STF Driyakara, Martin Sinagar dan wakil direktur LP3eS Enceng Sobirin Nadj.
Untuk itulah, lanjut Baso diperlukan sebuah gerakan pemikiran untuk menjadikan Islam itu sebagai subyek yang mendefinisikan dirinya sendiri diluar interpretasi Barat. (cih)
Â
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
3
Cerita Pasangan Gen Z Mantap Akhiri Lajang melalui Program Nikah Massal
4
Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?
5
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua