Warta

Miliki Banyak Potensi, Peranan Perempuan Masih Perlu Diberdayakan

NU Online  ·  Kamis, 29 Desember 2011 | 01:30 WIB

Semarang, NU Online
Di berbagai belahan bumi, perempuan masih mendapat diskriminasi dan marginalisasi. Bahasa Inggris yang dipakai mayoritas penduduk bumi, memakai kata ganti “she”, bukan “he” untuk menyebut hewan. Ketika orang bercerita tentang kucing atau anjingnya, kata ganti untuk si kucing sama dengan untuk manusia perempuan.

Dalam lintasan sejarah, suku Aztec dan  Maya dan Amerika maupun suku-suku lain di benua lain, biasa mengorbankan seorang gadis kepada dewa jika meminta selamat dari bencana atau ingin memperoleh kebaikan hidup mereka.
<>
Dalam cerita pewayangan, tokoh Drupadi yang  bersuami lima (poliandri) wajib mengikuti semua suaminya kala mendaki gunug Himalaya. Sesampai di gunung, Drupadi dikorbankan harus mati karena dianggap tidak adil karena lebih mencintai salah satu suaminya.

Ulasan itu disampaikan dosen Pascasarjana dan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Prof Dr Ismawati Hafied dalam Seminar “Peran Perempuan Dalam Menciptakan Generasi Masa Depan” yang diadakan Lembaga Advokasi Komisariat PMII  IAIN Walisongo bekerjasama dengan UKM Anniswa IAIN Walisongo Semarang, di Kampus I IAIN Walisongo belum lama ini.

“Perempuan masih mengalami diskriminasi dari dulu hingga kini. Masih ada anggapan perempuan itu emosional, tidak rasional. sehingga tidak cocok jadi pemimpin. Jadi, kita masih harus berjuang,” kata ketua umum PW Muslimat NU Jawa Tengah ini di hadapan puluhan hadirin yang hampir seluruhnya wanita. 

Ismawati menerangkan, sebenarnya sejarah telah mencatat kepemimpinan perempuan yang hebat. Ada ratu Bilqis di negeri Saba’ (sekarang Yaman), ada Ratu Shima di Kalingga (Jepara) yang terkenal adil bijaksana. Lalu ada Ratu Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit.

Di zaman modern, ada pahlawan pemimpin perjuangan melawan penjajah. Cut Nya’ Dien dan Cut Meutia di Aceh, Martha Christina Tiahahu di Maluku, Nyi Ageng Serang yang membantu Pangeran Diponegoro di Jawa, dan seterusnya.

“Jadi, sekarang kembali ke perempuan sendiri. Mau atau tidak  menjadi pemimpin. Gusti Allah sendiri telah memberi kesempatan dan modal yang sama. Yang membedakan orang hanya taqwanya,” tandasnya.

Pembicara berikutnya, Ulia Dewi Muthmainnah, pengelola Pondok Pesantren An-Nihayah Yogyakarta yang kini kuliah di program Magister Ilmu Falak IAIN Walisongo memaparkan, seorang ibu sebenarnya adalah pengasuh anak. Itu kewajiban sekaligus haknya. Maka jika ada ibu yang bekerja mencari nafkah, itu pastilah karena ketulusan. Karena tak tega melihat anaknya kekurangan.

Aktivis kesetaraan gender ini berpesan kepada wanita agar bersiap jadi ibu yang baik dan mengupayakan bekerja di rumah kalau harus mencari nafkah.



Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Ichwan