Suasana Ramadhan yang jauh dari keluarga di Indonesia dan berada di daerah yang beriklim panas hingga 40 celsius seringkali membuat mahasiswa Indonesia mengeluh. Belum lagi, saat buka puasa menu-menu yang biasa dihidangkan di bulan Ramadhan yang menyajikan cita rasa Indonesia tak akan mereka jumpai di rantau. Kolak pisang, mie ayam, gado-gado, dan bakso yang biasanya dinikmati sebagai menu tambahan setelah selesai tarawih tak akan dapat ditemukan di sini.
Namun menurut Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman Imam Nawawi, bagi sementara mahasiswa Indonesia yang belajar di Hadramaut, bulan Ramadhan justru merupakan berkah tersendiri.<>
Mahasiswa tingkat III Fakultas Syariah Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman itu menuturkan, sebagian mahasiswa Indonesia yang kirimannya terbatas memanfaatkan Ramadhan sebagai momen yang menghasilkan ‘keuntungan’.
Budaya berbuka puasa di Hadramaut dan di beberapa provinsi lainnya di wilayah Yaman Selatan terbagi menjadi dua. Ta'jil (buka awal) yang dilakukan waktu bedug Maghrib tiba dan Asya' (makan nasi) yang dilakukan setelah melakukan Jama'ah shalat maghrib. Menu buka ta'jil di Hadramaut adalah Syurbah. Sejenis bubur yang dicampur dengan potongan daging kambing (hampir mirip bubur ayam).
"Kerinduan pada keluarga dan cita rasa Indonesia yang dialami hampir seluruh mahasiswa Indonesia saat berbuka seperti itu dimanfaatkan oleh sebagian mahasiswa untuk menjajakan masakan has Indonesia yang mereka olah dengan bahan dan kemampuan seadanya. Sebuah kreatifitas yang tetap saja berderap dengan kemampuan yang sama sekali terbatas," katanya dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada NU Online, Jum'at (11/9).
Salah satu menu favorit yang biasa dijajakan adalah bakwan. Biasanya, gorengan khas Indonesia yang di Hadramaut hanya dibuat dari bahan terigu, kubis dan wortel itu dijajakan sebelum bedug tiba untuk campuran makan Syurbah yang menjadi menu tetap buka ta'jil. Tak tanggung-tanggung, hampir setiap hari 25. biji bakwan laku dengan harga 20 Riyal (Rp. 1000).
Imam Nawawi menurutkan, mahasiswa yang telah membeli kemudian memotong bakwan tersebut menjadi potongon kecil-kecil lalu dimasukkan ke dalam panci berisi Syurbah dan diaduk jadi satu hingga satu regu makan yang biasanya berjumlah lima orang tak lagi dapat membedakan mana yang potongan bakwan dan mana yang potongan daging kambing karena telah berbalut dengan bubur.
"Beberapa mahasiswa jawa yang pernah nyantri di pesantren salaf sering menyebut menu itu dengan bubur blanggentak. Sebuah istilah untuk makanan yang dicampur dengan sesuatu yang bukan merupakan bahan asli. Kelakar-kelakar santri Jawa yang memang merupakan ciri has mereka itulah yang seringkali mampu meringankan beban rindu pada keluarga dan masakan Indonesia," katanya.
Selain bakwan, ada juga sebagian mahasiswa yang kreatif memanfaatkan keberanian dan kemampuan pas-pasan mereka untuk membuat mie ayam, lontong, pecel, dan bakso yang biasa mereka jual dengan harga 250 sampai 300 Reyal (senilai Rp 12.000).
Hingga dalam sebulan penuh berjualan, dan setelah berbagi hasil dengan PPI Yaman yang menyediakan sebagian ruang kantornya untuk disulap menjadi cafeteria kagetan, mereka bisa meraup keuntungan hampir USD 500, nominal yang cukup besar untuk ukuran mahasiswa, terlebih mereka bisa memberikan keuntungan juga pada PPI Yaman yang merupakan induk organisasi mahassiswa Indonesia di seluruh Yaman.
"Biasanya dari hasil keuntungan yang lumayan tersebut, mereka memborong beberapa kitab yang mereka inginkan dan memang dijual dengan diskon besar-besaran di beberapa toko kitab saat Ramadhan tiba. Sebuah kemandirian dan kesederhanaan mahasiswa Indonesia di negeri orang yang menyentuh hati," katanya.
Usai menikamati Syurbah yang menjadi menu pembuka, mahasiswa melakukan jamaah Maghrib. Baru setelah jama'ah, mereka kembeli membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang untuk menikmati Asya' (makan malam). Biasanya, menu asya' yang disajikan adalah nasi samin (nasi kebuli) dan daging kambing has Yaman. Daging kambing ini dimasak dengan cara yang unik. Mulanya, daging yang sudah dilaburi dengan bumbu-bumbu tertentu direbus setengah matang, kemudian di masukkan ke dalam tinnur, sebuah tempat bulat lonjong terbuat dari tanah liat.
Biasanya tinnur tersebut memiliki tinggi 1m dan berdiameter 50 cm. daging yang sudah setengah matang tersebut kemudian dimasukan ke dalam tinnur yang sebelumnya sudah diisi dengan pembakaran arang. Kemudian tinnur tersebut di tutup hingga rapat-rapat hingga tak ada asap yang keluar. Setelah hampir satu jam, daging diangkat dan siap saji. Konon, daging kambing yang di asapkan di tinnur itu adalah masakan has Hadramaut yang telah terkenal di barbagai daerah termasuk Indonesia.
Selain beberapa menu kuliner dan budaya tarawih bergilir di kota Tareem Hadramaut, ada lagi budaya setempat yang cukup unik. Jika di kampung-kampung Indonesia anak-anak remaja sering membangunkan sahur penduduk dengan tongklek keliling kampung atau dengan membaca tarhim di masjid, maka lain lagi di Hadramaut.
Kebiasaan membangunkan sahur di Hadramaut dilakukan dengan membaca kalam salaf (petuah-petuah ulama terdahulu). Kalam salaf yang umumnnya tersusun menjadi syair dan rubaiyyat tersebut mereka lagukan dengan intonasi yang jika disimak hampir mirip dengan alunan tembang-tembang jawa peninggalan wali songo yang biasa kita dengar di pentas budaya atau pagelaran wayang kulit di Indonesia.
Biasanya, alunan kalam salaf tersebut diiringi dengan bunyi yang dihasilkan dari tiupan yang hampir mirip dengan suara seruling. Karena di lantunkan memakai pengeras suara, kalam salaf tersebut terdengar jelas sampai asrama. Ada beberapa mahasiswa jawa yang sudah cukup lama belajar di tareem sampai hafal lirik-lirik alunan itu, dan karena tidak hafal bait yang dibaca, seringkali mereka menirukannya dengan bahasa jawa sekedar untuk menghibur hati.
Keunikan tradisi, budaya, dan menu kuliner bulan Ramadhan di kota Tareem Hadramaut yang pada tahun 2010 nanti menjadi ibu kota kebudayaan Islam dunia tersebut merupakan warna lain dari kekayaan tradisi wilayah yang berpenduduk muslim.
"Seringkali keunikan-keunikan tersebut menjadi obat peringan kangen bagi para mahasiswa Indonesia yang sudah lama menjalani Ramadhan jauh dari keakraban keluarga, keindahan dan kekayaan budaya Indonesia," demikian Imam Nawawi. (nam)
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
Terkini
Lihat Semua