Warta

Menag: Waspadai Perpecahan di Ponpes

NU Online  ·  Ahad, 9 September 2007 | 08:45 WIB

Malang, NU Online
Menteri Agama RI,  M Maftuh Basyuni meminta para pemimpin atau pengasuh pondok pesantren (ponpes) agar tetap bersatu atau solid dan mewaspadai kemungkinan terjadinya perpecahan bila lembaga pendidikan yang dikelolanya menjadi besar.

"Hal ini sudah menjadi penyakit yang ada di ponpes. Ini harus diwaspadai, karena pengalaman menunjukkan demikian," kata Maftuh ketika meresmikan Gedung Ma’had  Al’Ulya, di Batu, Malang, Sabtu (8/9).<>

Maftuh sejak Kamis melakukan serangkaian kunjungan kerja di beberapa kota di Jateng, seperti Semarang, Bumiayu, dan Purwokerto.

Kemudian dilanjutkan ke Jatim. Menag menjadi pembicara utama atau keynote speaker pada Semiloka Aplikasi Nilai Islam pada pendidikan Kesehatan dan pelayanan rumah sakit di Surabaya, Sabtu (8/9).

Semiloka tersebut diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Malang, lalu dilanjutkan kunjungan kerja ke Yayasan Pendidikan Al’Maarif, Singosari Malang dan Pontren Ma’had Al’Ulya, Malang.

Selama kunjungannya itu , ia berulang kali menekankan pentingnya pendidikan bagi umat Islam. Orang harus belajar sejak lahir hingga ke liang lahat.

Mengenai perlunya mewaspadai kemungkinan perpecahan di kalangan pengelola ponpes, Menag menekankan bahwa hal ini sangat penting lantaran justru jatuh bangunnya lembaga pendidikan tradisional itu terletak pada soliditas para pengasuhnya.

Dalam sejarahnya tak ada pontren "gulung tikar" atau bangkrut  dan hal ini sudah diakui tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara bahwa pontren merupakan lembaga pendidikan terbaik, katanya.

Sungguhpun demikian , Menteri mengingatkan akan perlunya mewaspadai "penyakit" pontren karena bila sudah menjadi besar maka bisa terjadi perpecahan di antara para pengelolanya.

Hal ini sungguh merugikan, karena dewasa ini pemerintah tak lagi memandang pontren seperti zaman dahulu. Posisi pontren tak lagi dapat dipandang sebelah mata, ia mengingatkan.

Ponpes mana saja yang terancam perpecahan di antara para pengelolanya, Maftuh tak menyebutkan. Namun justru ia mengaku gembira bahwa kini eksistensi pontren kedudukannya sama dengan lembaga pendidikan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.

"Pemerintah tak lagi memandang adanya dikotomi antara popes/ madrasah dengan sekolah umum lainnya," kata Maftuh yang disambut tepuk tangan para santri tatkala membentangkan persoalan pendidikan di hadapan para ustadz dan santri.

Dijelaskannya pula, meski kini pontren dan sejumlah lembaga pendidikan Islam lainnya mengalami kemajuan pesat, namun masih banyak yang kondisinya "hidup segan mati pun tak mau". Pontren semacam itu jumlahnya masih banyak.

Masih ada sekitar  99,8 persen ponpes/madrasah berstatus swasta dan sebagian besar kondisinya memprihatinkan. "Ponpes macam ini harus dibantu," kata Maftuh.
Ia berharap para pengasuh lembaga dengan kehidupan "Senin-Kamis" itu tak menuntut pemerintah untuk dijadikan negeri, karena jika sudah berubah status  maka belum tentu seluruh perangkatnya, seperti guru/ustadz, juga menjadi pegawai negeri pula.

Ada persyaratan berat untuk mengubah lembaga pendidikan Islam menjadi negeri, yang belum tentu dapat diterima para pengasuhnya. Sebab, asetnya berubah status dan pengelola tak serta merta menjadi pegawai negeri,katanya lagi.

Ia menambahkan, agar ponpes kehadirannya di tengah masyarakat tetap dibutuhkan, maka harus dihindari kepentingan politik praktis sehingga lembaga pendidikan Islam ini tetap eksis."Silahkan mencetak kader politik, tapi jangan bawa ponpes kepada kepentingan politik praktis," Menag menegaskan.(ant/tob)