Warta

Mempelajari Geliat Dakwah Islam di Norwegia

Sen, 26 Desember 2011 | 07:28 WIB

Sumenep, NU Online
Era globalisasi menuntut kecakapan menyikapinya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai jelma globalisasi telah membawa manusia pada ragam kemudahan. Setidaknya, hal ini disadari oleh pengurus OSIS SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Setelah hujan turun deras mengguyur Desa Guluk-Guluk, Sumenep, mereka menggelar Diskusi Video Conference Lintas Benua di laboratorium IPA SMA 3 Annuqayah Sabtu (24/12) siang. Acara yang mengangkat tema “Geliat Dakwah Islam di Eropa” dengan pembicara langsung dari Norwegia, Abdillah Suyuthi, ini merupakan seri yang kelima. Penggagasnya ialah kepala SMA 3 Annuqayah, M Mushthafa.
<>
“Dalam acara diskusi seperti ini, saya selalu berusaha mengangkat tema yang tak biasa. Unik. Semisal dakwah Islam di Eropa yang tentu anak-anak didik kami tidak banyak tahu secara pasti dari sumber utamanya. Paling-paling hanya melalui media massa,” ujarnya.

“Seri pertamanya jatuh pada tanggal 22 Oktober tahun ini. Tema yang diangkat ialah Generasi Muda dan Tantangan Global. Pembicaranya langsung dari Amerika Serikat. Selanjutnya, disusul dengan seri-seri diskusi yang juga mengangkat tema-tema menarik dan unik,” tutur M Mushthafa.

M Mushthafa pernah menetap di Norwegia selama 5 bulan, tahun 2009 lalu. Dia belajar gratis di Eropa atas prestasinya mendapatkan beasiswa erasmus mondus dari Uni Eropa. Selama di Eropa, tentu M Mushthafa memiliki banyak teman dari ragam disiplin keilmuan.

“Jauh-jauh hari sebelum model acara diskusi seperti ini dilakukan, saya memang mengontak teman-teman saya itu. Salah satunya ialah bapak Suyuthi yang sekarang mengenyam pendidikan S3 di jurusan Teknologi Kelautan, NTNU, Norwegia. Riset beliau ialah lebih pada kapal-kapal laut di daerah bersalju,” tutur M Mushthafa saat dihubungi via handphone, Ahad (25/12) malam.

Melalui skype yang ditangani oleh M Mushthafa, Abdillah Suyuthi mampu memberikan pencerahan kepada sekitar 50 peserta. M Mushthafa berperan sebagai moderator pada acara itu.

“Saya ucapkan banyak terima kasih. Tak sedikit informasi baru yang kami peroleh dari bapak Suyuthi tentang perkembangan Islam di Norwegia. Seperti adanya tambahan bangunan masjid yang sewaktu saya di Norwegia masih hanya ada satu masjid,” ujar M Mushthafa kepada Suyuthi di depan laptop yang dioperasikannya, usai presentasi Suyuthi yang bergulir sekitar 1,5  jam dan diikuti secara khidmat oleh para peserta.

Tantangan Islam di Norwegia

Dalam penjelasannya, Suyuthi yang mengenyam pendidikan di Norwegia semenjak 2006 lalu, memberikan uraian gamblang tentang potret umat Islam di Eropa, khususnya di Norwegia.

“Bermula dari jatuhnya Khilafah Islamiyah di Turki pada 1921, perang 6 hari pada 1967 antara Mesir, Israel, Syiria, dan Yurdania, serta perang di Irak dan di Afganistan pada 2000 hingga sekarang, berdampak pada pengungsian besar-besaran mencari pekerjaan, sehingga mereka punya karakter keras,” papar Suyuthi detail.

“Para umat Islam yang ditimpa perang itu banyak yang mengungsi dan menetap di Eropa, termasuk di Norwegia sendiri. Para pengungsi tersebut didominasi perempuan. Selanjutnya, mereka membentuk komunitas Islam di Norwegia,” ungkap Suyuthi tanpa menyebutkan nama komunitas Islam tersebut.

Suyuthi juga menambahkan bahwa di Norwegia, tak sedikit penduduknya masuk Islam karena didasarkan hanya pada cinta. Bukan karena ‘panggilan’ Islam sendiri.

“Para gadis muslim tidak mau dinikahi pemuda non-muslim sebelum pemuda itu mengikrarkan diri masuk Islam dengan membaca syahadat,” jelas Suyuthi sembari tersenyum.

Dalam pandangan aktivis Kajian Muslim Indonesia Trondheim (KMIT) itu, komitmen perempuan-perempuan muslim tersebut patut dibanggakan meskipun tidak menjadi jaminan kualitas keberislaman seseorang. Dan ini menjadi salah satu tantangan bagi Suyuthi yang sudah banyak memahami ajaran Islam.

Pada wilayah itu, tantangan lainnya ialah berkenaan dengan jadwal shalat di Norwegia yang setiap hari mengalami perubahan. Persoalan ini sebenarnya sudah teratasi melalui website islamicfinder.com. Sehingga, Suyuthi dengan teman-teman lainnya yang aktif di KMTI dituntut berperan besar meng-update perkembangan waktu shalat yang terpublikasikan dalam website tersebut. Selanjutnya, mereka menyosialisasikannya kepada segenap umat Islam di Norwegia.

Tetapi tantangan yang paling utama, lanjut alumnus ITS Surabaya itu, ialah kristenisasi.

“Agen-agen mereka gencar melakukan kristenisasi ke rumah-rumah,” ungkapnya dengan nada serius, agak ditekan. “Saya bahkan pernah diberi kitab injil. Untuk sekadar menghargai, saya ambil saja.”

Gencarnya gerakan kristenisasi tersebut, tambah pria yang juga tercatat sebagai dosen ITS Surabaya itu, berbanding terbalik dengan perkembangan islamisasi.

“Perkembangan bahwa laju islamisasi di Eropa begitu deras hingga puluhan ribu tiap tahunnya, itu bohong. Ini hanya propaganda agen-agen non-Islam biar Islam ditakuti,” ungkapnya berapi-api.

Di Eropa, tambahnya, umat Islam cenderung hanya berjuang demi survive (bertahan hidup). Maksudnya, mereka belum sampai melangkah pada gerakan islamisasi, hanya mempertahankan agar anak dan keluarga tetap beragama Islam.

“Umat Islam belum melakukan langkah-langkah universal untuk menduniakan Islam secara serius,” tegasnya.

“Di KMTI, kami melakukan dakwah Islam semampu kami dengan cara mendiskusikan ajaran Islam. Kami juga membuat selebaran yang berisikan ajaran-ajaran Islam,” tambahnya.

Tradisi Islami

Masih menurut Suyuthi, di Norwegia, terdapat banyak tradisi islami. Dengan kata lain, sekalipun di Norwegia banyak masyarakatnya yang tidak beragama Islam, tapi perilaku kesehariannya tak sedikit yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.

Ambil contoh, ujar Suyuthi, tentang kebersihan dan sikap toleransi yang memang terkandung dalam ajaran Islam. “Di Norwegia sering terjadi macet hanya gara-gara menghargai pejalan kaki,” katanya.

“Ketika ada pejalan kaki yang mau melintas di jalan, dari jarak jauh kendaraan sudah mengerem untuk kemudian berhenti. Para sopir baru menjalankan kendaraannya kembali sesudah pejalan kaki tersebut selesai menyeberangi jalan,” papar Suyuthi.

“Pernah suatu ketika ada kakek yang menyeberang jalan secara pelan, maka mobil yang semestinya melaju dengan cepat berhenti seketika,” ungkapnya.

Dan hebatnya, tegas Suyuthi, tak ada satu pun kendaraan yang membunyikan klaksonnya.

“Bandingkan saja dengan di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam,” kata Suyuthi sembari tersenyum tanggung. Para peserta pun banyak yang tertawa menimpali senyuman Suyuthi tersebut.

Demikian pula berkaitan dengan kebersihan. Di Norwegia bisa dipastikan sulit ditemui sampah berserakan dan parit-parit yang digenangi air busuk kebiruan. Di Indonesia, mudah sekali ditemukan air tak bersih kebiruan di parit-parit sekitar jalan serta banyaknya sampah yang berserakan di sekitar tempat sampah.

Selain kebersihan dan sikap toleransi, Suyuthi juga mengungkap tentang penanganan kesehatan di Norwegia.

“Di Norwegia, orang sakit langsung ditangani. Di Indonesia, keluarga si sakit masih ditanyai uang dulu, cukup biaya pengobatan atau tidak. Kerap kali di Indonesia, orang sakit justru menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit karena tidak tertangani secara baik. Hanya gara-gara tidak punya uang yang mencukupi,” jelas pria yang pernah menjadi khotib di masjid Trondheim itu.

Respon Positif Peserta

Penjelasan Suyuthi tentang potret Islam dan umat Islam di Norwegia, mendapat respon positif dari para peserta diskusi. Ketika M Mushthafa memberikan kesempatan bertanya kepada para peseta, terlihat sekali aura kebingungan di wajahnya karena banyaknya peserta yang ingin bertanya.

Maimunah, salah satu siswi kelas XII IPS SMA 3 Annuqayah, mengomentari penjelasan Suyuthi tentang banyaknya pemeluk Islam yang bermula dari adanya cinta.

“Mereka yang masuk Islam karena cinta, tentu pemahaman tentang Islam terbilang minim. Aplikasi terhadap ajaran Islam secara utuh, jelas dalam tanda tanya besar. Ini semakin terkesan memiriskan di tengah komunitas Islam di Norwegia yang bergerak tidak secara aktif. Hanya survive kata pak Suyuthi tadi,” ujar Maimunah.

Mencermati pernyataan gadis imut yang tingginya sekitar 155 cm itu, Suyuthi menyatakan bahwa dakwah Islam di Eropa khususnya di Norwegia tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Memang saya akui, orang-orang Eropa termasuk masyarakat Norwegia itu punya kebiasaan negatif yang bertolak belakang dari ajaran Islam. Jangankan berbicara ritual Islam, untuk mengubah kebiasaan itu amat sulit,” keluh Suyuthi.

“Orang-orang Norwegia terkenal sebagai masyarakat yang tekun belajar. Dari hari Senin sampai Jumat, mereka belajar secara sungguh-sungguh. Sayangnya, hal itu berirama dengan tradisi yang kurang baik,” ujar Suyuthi.

Dari hari Sabtu sampai malam Minggu, lanjutnya, mereka mabuk hingga dini hari. “Mereka memiliki prinsip: belajar dan kerja serius, main juga harus serius,” ungkap Suyuthi. “Oleh mereka, main selalu diterjemahkan ke dalam minum minuman keras”.

Tradisi itulah yang membuat Suyuthi serta teman-teman Islam lainnya agak kelimpungan menyebarkan ajaran Islam secara utuh di Norwegia.

Anisa, kelas akhir jurusan IPA SMA 3 Annuqayah, mempertanyakan sistem pembelajaran di KMTI.

“Apakah menggunakan sistem pengajian sebagaimana diterapkan di pesantren-pesantren, atau punya metode tersendiri?” tanya gadis yang cukup manis itu.

Suyuthi menjawab pertanyaan Anisa kurang begitu jelas karena koneksi internet yang sedikit terganggu. Tapi, ada satu poin penjelasan yang dapat ditangkap bahwa KMTI, sewaktu-waktu mendatangkan salah satu syekh alumnus Makkah dan Madinah yang konsentrasinya di bidang Mushthalahal Hadist.

Bersamaan dengan itu, Suyuthi mengungkap tentang tujuan dibentuknya KMTI.

“Salah satu tujuannya ialah agar kami tidak terbawa oleh lingkungan tak Islami,” tutur Suyhuti tanpa menggambarkan KMTI secara detail.

Salah satu siswi kelas akhir SMA 3 Program Keagamaan yang tidak jelas mengenalkan namanya, bertanya tentang langkah-langkah umat Islam di Norwegia untuk mengantisipasi agar anak-anaknya tidak terpengaruh oleh perilaku yang tidak islami.

“Anak saya sendiri, alhamdulillah hingga kini tetap kukuh mempertahankan jilbabnya. Ini tak lepas dari upaya membentengi diri dengan ajaran Islam sejak dalam keluarga,” kata Suyuthi mengisahkan kehidupan keluarganya.

“Kalau anak sudah ditanami ajaran-ajaran Islam sejak dini dalam keluarga, maka dia akan mampu membentengi dirinya sendiri dengan ajaran Islam di luar rumah,” tegasnya. “Dan saya sangat bersyukur karena di Norwegia menghargai perbedaan dalam beragama.”

Di detik-detik akhir diskusi, Suyuthi sempat menyematkan 3 pesan.

Pertama, dalam memeluk agama Islam, niatkan untuk mencari kebenaran. Kedua, orang Islam dan ajaran Islam harus bisa dibedakan. Dan ketiga, kita harus menyeriusi adanya Tuhan,” papar Suyuthi.

“Ngomong Islam tapi tak berirama dengan keyakinan adanya Tuhan, maka sia-sia,” tandasnya.

Gema tepuk tangan peserta mengakhiri acara diskusi yang berlangsung 2 jam lebih itu. Sebagai bonos, M Mushthafa menyempatkan diri mengenalkan letak-letak kota di Trondheim melalui internet dan foto-foto Norwegia miliknya sewaktu mengenyam pendidikan di sana.

Usai acara, peserta diskusi tidak langsung pulang. Mereka tergoda oleh deretan buku yang dipajang di dekat pintu keluar. Buku-buku anyar tersebut diperjual-belikan oleh pengurus OSIS SMA 3 Annuqayah kepada para pesera diskusi.

Salah satu staff pengurus pondok pesantren Annuqayah yang hadir dalam acara tersebut, Sumarwi, menyampaikan kesannya.

“Saya memang selalu mengikuti diskusi semacam ini semenjak seri pertama. Sangat menarik. Acara seperti ini bisa menambah banyak wawasan yang sulit didapatkan di Indonesia,” kata Sumarwi.

Hanya saja, tambah Sumarwi, dirinya kurang maksimal mengikuti diskusi lintas benua yang seri kelima ini.

“Saya hadir agak terlambat. Berhubung suara pak Suyuthi agak terputus-putus, maka saya mengikuti kurang maksimal,” ujarnya polos.

Dalam prediksi M Mushthafa, gangguan tersebut belum diketahu secara pasti.

“Saya jadi penasaran. Sudah dua kali acara seperti ini terganggu oleh koneksi yang kurang optimal. Untuk saat ini, besar kemungkinan disebabkan oleh cuaca dingin karena hujan deras tadi,” kata M Mushthafa.

Dihubungi secara terpisah, M Mushthafa menyatakan bahwa diskusi lintas benua tersebut bukanlah yang terakhir.

“Pasti ada seri berikutnya, tinggal menunggu waktu. Dalam waktu dekat ini, berkisar satu bulan dari sekarang, insya Allah akan ada lagi,” ujar pria yang masih lajang itu.


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Hairul Anam