Warta

Mbah Muchith: Saya bukan Orang Hebat

NU Online  ·  Sabtu, 26 November 2011 | 01:27 WIB

Surabaya, NU Online
Di balik banyaknya orang mengagumi keteguhan hati seorang Mbah Muchith (KH A Muchith Muzadi) tentang pengabdiannya kepada NU, muncul pengakuan sebaliknya dari orang yang bersangkutan. Ternyata Mbah Muchith bukanlah sosok orang hebat seperti yang dipandang orang.

“Saya ini bukan orang yang hebat, biasa-biasa saja. Justru saya sering menerima penghargaan yang melebihi apa yang ada pada diri saya,” tutur Mbah Muchith di Surabaya pada Jum’at (25/11) sore kepada NU Online.<>

Ia mencontohkan ketika dirinya masih muda. Di usia 13 tahun belum bisa menulis huruf latin. Ia baru belajar membaca dan menulis huruf latin kepada KH Achmad Siddiq (kelak menjadi Rais Aam PBNU 1984-1989) saat keduanya masih sama-sama belajar kepada Hadratus Syaikh di Tebuireng.

Anehnya, meski hanya lulusan Madrasah Salafiyah Tebuireng, namun ia selalu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Saat masih di Tuban ia pernah menjadi anggota Dewan Pemerintahan Daerah (DPD), bahkan pernah menjadi Sekda. Begitu pula ketika ia harus pindah ke Malang dan Jember, banyak sekali mendapatkan penghargaan yang dinilai berlebihan.

Bahkan saat di Jember pernah diminta menjadi Ketua DPC PPP yang pertama, serta Wakil Ketua DPRD Jember, ketika Ketua DPRD masih harus tentara. “Alhamdulillah, saya banyak mendapatkan kemudahan dari Allah SWT,” jelas Mbah Muchith.

Ada peristiwa yang dirasakan aneh oleh Mbah Muchith. Setelah pemakaman istrinya, beberapa orang mendatangi Mbah Muchith. Mereka mengucapkan terima kasih karena istrinya telah dimakamkan di Jember. Lebih dari itu mereka juga meminta agar salah seorang Mustasyar PBNU itu juga berkenan dimakamkan di Jember pula.

“Ini penghargaan luar biasa bagi saya,” tutur Mbah Muchith.

Walhasil, Mbah Muchith menerima keinginan mereka itu, meski sebenarnya pihak keluarga di Tuban juga menginginkan hal yang sama. Artinya, saat meninggal nanti Mbah Muchith akan dimakamkan di Jember. Pertimbangan Mbah Muchith cukup sederhana, karena ia telah hidup di Jember lebih dari 50 tahun lamanya, paling banyak dibanding saat berada di daerah-daerah lain.

Meski demikian, walau telah ada dua kiai yang menawarkan komplek pemakaman keluarganya untuk Mbah Muchith, namun sesepuh NU ini lebih memilih dimakamkan di pemakaman umum saja, kelak saat meninggal dunia.

“Saya biasa hidup bersama masyarakat umum, karena itu kelak saya ingin dimakamkan bersama masyarakat umum saja,” jelas Mbah Muchith. “Saya ini orang biasa, bukan kiai yang hebat,” pungkanya. sbh


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: M Subhan