Sidoarjo, NU Online
Kantor PCNU Sidoarjo di Jl. KH. Mukmim 64 Minggu 20 Juli kemarin penuh sesak karena dibanjiri oleh ratusan kader GP. Ansor dan lasykar Banser dari 18 PAC se-Sidoarjo. Mereka sangat merindukan kerawuhan dan petuah-petuah bijak dari Suhu NU.KH. Abd. Muchith Muzadi dan informasi tentang perkembangan percaturan politik Indonesia dari Drs. Muhaimin Iskandar, M.Si.
Kedua tokoh ini hadir sebagai nara sumber pada acara Kajian Berkala ke-2 Pengembangan Sumber Daya Manusia Generasi Muda NU Sidoarjo yang digelar oleh PC. GP. Ansor Sidoarjo dengan sub-tema pembahasan NU dalam Pergumulan Politik Era Reformasi. Dalam presentasi ilmiahnya, Mbah Muchith (sapaan akrab KH. A. Muchith Muzadi) membeberkan seluk-beluk khittah 1928. Menurutnya, Muktamar NU 1984 di Situbondo, Jawa Timur mengambil keputusan untuk kembali ke khittah 1926. NU harus kembali mempertegas identitas dirinya sebagai jam'iyah diniyah ijtima'iyah, bukan sebagai parpol.
<>Khittah NU ini dirumuskan karena didorong oleh sedikitnya dua hal yaitu (1) sampai usia 60 tahun (1926 - 1984) NU belum mempunyai rumusan apa dan bagaimana NU seutuhnya secara sistematis, (2) NU harus keluar dari wuwu politik Orba yang namanya PPP dengan segala akibat sampingannya. Rezim otoriter Orba mem-bonasi semua partai politik (harus tetap hidup, tetapi tidak boleh besar). Khusus NU yang sudah besar di bawah, tidak boleh besar di atas. Konon, NU dicegah menjadi menteri agama, ketua MUI dan tempat NU di kursi ketua umum PPP juga harus diringkus. Gus Harto hanya memanjakan Golkar yang tidak mau disebut sebagai parpol, padahal ia mbahnya parpol. Dengan senggolan Gus Harto, Golkar langsung mekar. Golkar khan singkatan disenggol mekar, demikian seloroh Kakak Kandung Ketua PBNU yang membuat sahabat-sahabat Ansor dan Banser tertawa terpingkal-pingkal.
Oleh karena itu, tandas Mbah Muchith, hal pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan semua hal tentang NU mulai dari pendorong didirikannya, faham keagamaan, sikap sosial dan tetek bengek NU sampai komitmennya kepada negara. Khusus berkaitan dengan politik, NU perlu menyisipkan beberapa kata-kata sakti yaitu NU sebagai jami'iyah diniyah, secara organisatoris tidak terikat dengan parpol dan ormas manapun.
Anehnya, sisipan yang hanya beberapa kata itulah yang sering disebut sebagai khittah NU. Bagian yang lain-lain dianggap tidak ada. Itu pun pemahamannya didasarkan atas kepentingan kelompok masing-masing, tidak atas kepentingan NU dan kaum nahdliyyin. Mbah Muchith bersedih karena warga NU kurang memahami makna kata tidak terikat. Tandasnya, tidak terikat itu berarti independen, mandiri, bebas, tidak harus terikat berdekatan atau berjauhan dengan suatu parpol atau ormas lain. NU bebas berdekatan dengan parpol A atau B. Seberapa dekatnya NU dengan A atau B, tergantung pada kepentingan NU dan warga nahdliyyin, tidak mengikuti kepentingan A atau B. Satu saat, NU bisa dekat dengan A, di saat lain dekat dengan B bahkan di saat lain dapat berdekatan dengan keduanya atau berjauhan dengan keduanya. Dekat atau jauh dengan suatu orpol bukanlah suatu hal yang qoth'i (pasti sepanjang masa), tetapi tergantung pada situasi dan kondisi.
Ketika datang era reformasi, NU berdekatan dengan PKB karena PKB didirikan dibawah restu dan bimbingan PBNU. Namun, kedekatan itu sekarang sedang digrogoti oleh tanda-tanda gangguan. Apakah NU - PKB mampu mengatasi gangguan itu?. Wallahu a'lam bisshowab.
Saya mengharap mudah-mudahan kita semua (yang NU dan yang PKB) menyadari adanya gangguan itu. Ingat….!!! Jauh atau dekatnya NU dengan PKB tidaklah "qothi’i ila akhirizzaman”, tutur Mbah Muchith dengan raut muka serius sembari mengacungkan jari telunjukknya di hadapan ratusan kader Ansor dan Banser Sidoarjo.(Kd-Sda/ M. Shol)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
3
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
4
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
5
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
6
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Wujud Syukur atas Kemerdekaan Indonesia ke-80, Meneladani Perjuangan Para Pahlawan
Terkini
Lihat Semua