Maraknya sinetron religi yang ditayangkan televisi Indonesia akhir akhir ini khususnya di bulan suci Ramadan dipertanyakan dalam Konperensi Islam yang digelar Universitas Manchester dan Universitas Surrey, Inggeris, di Gedung Samuel Alexander The University of Manchester, pekan ini.
Dalam konperensi bertemakan "Representasi Islam: Perseptif Komparatif" yang menampilkan tokoh Muslim Inggris, antara lain Prof. Tariq Ramadan, Prof. Toriq Madood dan Prof. Kenan Malik dan wakil dari Indonesia Muzayin Nazaruddin dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.<>
Konferensi dihadiri ratusan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, Islamic studies, media studies, antropologi, sosiologi datang dari berbagai negara di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Asia, dan Afrika.
Konferensi menampilkan sebanyak 70 makalah yang merupakan hasil penelitian penulis dan dipresentasikan berdasarkan mekanisme "call for paper" serta dipublikasikan secara online sejak setahun sebelum konferensi.
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu menyampaikan makalahnya "Representasi Islam dalam Sinetron Religi". Dia menilai kurang tepat menyebut sinetron religius sebagai "self representation of Muslim in Indonesia".
"Bagaimanapun konteks paling kuat yang melatarbelakangi maraknya sinetron religius adalah kekuatan pemodal di balik proses produksinya (production house, pengelola stasiun televisi, dan pengiklan) yang menjadikan Islam sebagai komoditas untuk diperdagangkan," ujarnya.
Menurut Muzayin, yang tengah menyelesaikan S-2 dalam Kajian Budaya dan Media UGM Yogyakarta, bagi pemodal tidak penting apakah isi sinetron religius tersebut sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, yang penting adalah apakah sinetron itu laku atau tidak.
Dalam konteks ini, otoritas tradisional Muslim, seperti para ulama atau lembaga pendidikan Islam, tidak memiliki kekuatan yang berarti,” tandasnya
Sejak film "Ayat ayat Cinta" sukses meraup penonton hingga empat juta lebih, produsen lain pun tidak mau tertinggal, sebut saja sinetron "Kun Fayakun" atau "Ketika Cinta Bertasbih" yang dalam proses produksi dan "Munajah Cinta".
Menurut Muzayin, genre film dan sinetron religius menjadi menarik dan penting dibahas karena memiliki rating tinggi, beberapa judul sinetron religius sangat populer dan menempati sepuluh acara dengan rating tertinggi selain sarat dengan simbol-simbol Islam. "Penonton sinetron religius adalah penonton Islam di Indonesia saat ini, walaupun tidak dari semua sisi," ujarnya.
Pemahaman Islam
"Bagaimana Islam ditampilkan dalam sinetron religius ini menunjukkan pemahaman Islam dalam alam pikir masyarakat Indonesia dewasa ini," ujarnya.
Dari temuan penelitian yang dilakukan Muzayin, ada tiga kategori tema sinetron religius, yaitu pertama tentang si pendosa yang diazab Allah, kedua kisah tentang si penyabar yang sukses, dan ketiga kisah tentang si pendosa yang bertaubat.
Menurut Muzayin dalam makalahnya "Representasi Islam dalam Sinetron Religi" terdapat tiga model pembenaran yang dilakukan sinetron religius untuk menjustifikasi isi tayangan memang sesuai dengan nilai-nilai (ajaran agama Islam).
Pertama adalah judul sinetron itu sendiri kebanyakan menggunakan idiom-idiom Islam, seperti "Rahasia Ilahi", "Takdir Ilahi", "Astaghfirullah", "Allah Maha Besar", dan lainnya.
Kedua, sumber cerita yang beberapa sinetron religius mengklaim cerita mereka adalah fakta (realita), diadaptasi dari majalah religius yang populer, seperti Hidayah, Ghoib, dan lainnya.
Masalahnya, majalah tersebut mengklaim kisah yang mereka tuturkan merupakan berita, hasil reportase, seperti halnya majalah berita lainnya, ujar Muzayin yang pernah magang di Harian Republika.
Bahkan, ada sinetron religius yang mengklaim kisahnya diambil dari hadist nabi, yang disarikan kitab Bukhari Muslim, ujar Muzayin, yang berkecimpung dalam berbagai organisasi sosial.
Muzayin melihat beberapa sinetron religius menampilkan ustadz/ustadzah yang populer seperti Arifin Ilham, Jefry aA Buchori, atau Luthfiah Sungkar. Para ustadz ini menyampaikan nasehat-nasehat religius dengan pesan utama bahwa isi sinetron religius tersebut sesuai dengan ajaran Islam.
Hitam Putih
Lalu bagaimana representasi Islam yang ditampilkan? Kajian yang dilakukan Muzayin menyimpulkan beberapa temuan tentang representasi Islam dalam sinetron religius yaitu Islam memandang sesuatu secara ekstrim, hitam dan putih.
Hal ini sering ditampilkan dengan penggambaran tokoh protagonis secara ekstrim baik, tanpa cacat sedikitpun, sebaliknya tokoh antagonis secara ekstrim buruk, tanpa kebaikan sedikitpun.
Muslim ideal adalah pribadi yang penuh kepasrahan dan berserah diri kepada Allah. Seringkali, kepasrahan ini tampil secara ekstrim tanpa perjuangan atau usaha apapun, cukup berpasrah diri, kesuksesan hidup akan datang dengan sendirinya,
Taubat bisa dilakukan secara instan, cukup dalam sekali langkah, seseorang akan langsung baik. Selain itu, perempuan sering ditampilkan sebagai sumber masalah, baik secara personal maupun sosial. Secara umum, Islam direpresentasikan sebagai agama yang irasional dan penuh kegaiban.
Di Indonesia, tayangan mistik (termasuk yang berbalut religi) dalam segala zaman selalu mendapat pangsa pasar yang berarti.
Clifford Geertz menyatakan orang Jawa, khususnya golongan Abangan, memahami dunia makhluk halus atau gaib dihuni oleh memedi, lelembut, tuyul dan makhluk halus lainnya. Imaji khas Jawa itu tertuang dalam kisah-kisah lisan, khasanah sastra, cerita, direproduksi dalam berbagai media, termasuk dalam media audio visual (film dan televisi). (ant)
Terpopuler
1
Ramai Bendera One Piece, Begini Peran Bendera Hitam dalam Revolusi Abbasiyah
2
Gus Yahya: NU Bergerak untuk Kemaslahatan Umat
3
Munas Majelis Alumni IPNU Berakhir, Prof Asrorun Niam Terpilih Jadi Ketua Umum
4
Ketum PBNU Resmikan 13 SPPG Makan Bergizi Gratis di Lingkungan NU
5
PPATK Tuai Kritik: Rekening Pasif Diblokir, Rekening Judol Malah Dibiarkan
6
Di Tengah Fenomena Bendera One Piece Badan Siber Ansor Ajak Generasi Muda Hormati Merah Putih
Terkini
Lihat Semua