Jakarta, NU Online
Pengamat politik Universitas Indonesia Mahrus Irsyam mengatakan bahwa nilai-nilai khittoh harus tetap berlaku dan hak berpolitik tetap diberikan kepada para warga berkaitan dengan pernyataan beberapa kyai NU yang bergabung dalam PKB yang menyatakan bahwa PKB dan NU merupakan satu kesatuan untuk menarik massa NU ke PKB.
“Ulama dalam NU harus tetap sebagai sentral, NU tetap ormas, nahdiyyin bebas berpolitik. oleh karena itu harus ada gerakan yang tepat, butuh reinterpreatasi, kontekstual, dan sekarang ini kebutuhannya adalah demokratisasi. Sekarang ini ulama menjadi sentral pendidikan politik artinya harus menjadi sentral pendidikan politik, karena di situ nahdliyyin memiliki hak politik, sedangkan mereka apakah akan masuk PKB, PNU, silahkan, itu urusan mereka sendiri,” ungkapnya kepada NU.Online
<>Dalam hal ini tentu saja yang diarahkan sekarang demokrasinya. Oleh karena itu sekarang ulama harus belajar demokrasi dan mengajarkan demokrasi. Konsep demokrasi kan sama dengan konsep nahdiyyin, toleransi, kerjasama dalam berbagai pendapat, proses aswaja, silahkan untuk memilih ke mana saja, jangan digondeli PKB.
Memang untuk mewujudkan hal ini tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tarik menarik hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kelahirannya dibidani Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU, terus saja menjadi kontroversi. Sebagian menganggap pemisahan tegas antara PKB dan NU harus segera dimulai, sebab jika tidak, persoalan PKB bisa merembet ke NU atau sebaliknya. Di sisi lain, faktor kedekatan historis PKB dan NU belum memungkinkan PKB sepenuhnya lepas dari pengaruh NU.
Belum lagi, bagi warga NU yang sekarang berada di luar PKB, tuntutan agar NU tetap berada di jalur Khittah 1926 makin saja menguat. Mereka menuntut perlakuan yang sama dengan warga NU di PKB. Sebaliknya, warga NU di PKB terus berupaya mendapat dukungan dari PBNU, sebagai bentuk tanggung jawab moral NU yang melahirkannya. Bahkan, mereka terus meminta legitimasi dari tokoh NU yang memang membidani lahirnya PKB.
Lebih jauh Mahrus Irsyam menjelaskan, karena realitas itulah perlunya pemisahan NU dan PKB secara jelas, baik dalam organisasi maupun dalam praktik sehari-hari, tidak bisa dielakkan lagi. NU yang notabene punya potensi massa bawah, bisa mengalami kerugian cukup besar, tegasnya.
"Ini sangat membahayakan karena NU merupakan payung pendidikan bagi masyarakat desa, sehingga jika ada persoalan di NU bisa juga menjadi persoalan bangsa yang lebih luas. Hal ini berbeda dengan persoalan yang dihadapi PKB," kata Mahrus. Akibat kedekatannya dengan PKB, tambah Mahrus, NU tidak bisa netral dengan lembaga masyarakat lain, seperti partai politik atau lembaga keagamaan dan kemasyarakatan lainnya. "Jika NU yang menjadi naungan dari pendidikan masyarakat desa sekarang terlibat konflik, akan segera merembet ke masyarakat desa. Dampaknya, keutuhan bangsa terancam," ujar mantan Ketua Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI ini.
Untuk itulah pengembangan demokratisasi dalam NU tentu butuh kerjasama antara mereka yang tahu demokrasi dan tahu NU. “Masa ulama mau kembali ke zamannya Idham Kholid, diiming-imingi kursi DPR mau, ya masak mau begitu lagi. Sekarang kalau saya mengusulkan, pak Hasyim tegas, NU ormas, hak politik pada warga nadhyiddin, dan etika politik diperbaiki, masak kita ngak bisa,” tambahnya.
Dilihat dari latar belakang sejarah, Ia menjelaskan bahwa waktu lahir gerakan ini namanya NU atau kebangkitan ulama, yaitu nama NU menjadi paradigmanya, selama ini paradigma tersebut tidak pernah direintepretasi, Cuma dikait-kaitkan terus. Khittoh harus tetap maju. Misalnya Muslimat bagaimana melakukan reinterpretasi posisi ulama, apakah mungkin ada wanita ulama, apakah hak wanita ulama, apakah wanita ulama boleh menentukan hukum, hal ini tidak pernah dibicarakan. PMII seharusnya kan menginterpretasikan mahasiswa sebagai ulama itu bagaimana, tegas Mahrus
“Yang paling gampang saja. Misalnya dalam pemilu, muncul dai muda, apakah dikatakan ulama juga, itu harus diinterpretasikan kembali. Kalau saya melihatnya, Idham Kholid sama Gus Dur saat ini sama, menunjang kehidupan politik melulu, tidak menggali yang mananya gerakan, padahal kehebatan NU di gerakan itu, Kalau orang luar mengatakan bahwa NU lahir karena reaksi pada Muhammadiyah, tidak, NU lahir karena ada kekuatan internal karena adanya gerakan organisasi,” jelasnya.
Dan saat ini gerakan itu harus didiskusikan kembali, dipelajari, dicari kontekstualnya dengan masyarakat sekarang, dan kalau organisasi apa rumusan-rumusan demokratisasinya NU, apakah kalau ulama harus berkepentingan dengan kursi atau berkepentingan dengan demokratisasi, apakah berkepentingan dengan pemilih, kalau berkepentingan dengan kursi tidak usah jadi ulama saja.
NU sebagai organisasi gerakan juga harus terus berkembang. Ge
Terpopuler
1
Ramai Bendera One Piece, Begini Peran Bendera Hitam dalam Revolusi Abbasiyah
2
Pemerintah Umumkan 18 Agustus 2025 sebagai Hari Libur Nasional
3
Pengetahuan tentang HKSR Jadi Kunci Cegah Kekerasan Seksual, Begini Penjelasannya
4
Bukan Hanya Kiai, Mustasyar PBNU: Dakwah Tanggung Jawab Setiap Muslim
5
Gus Yahya: NU Bergerak untuk Kemaslahatan Umat
6
Fatwa Haram Tak Cukup, Negara Harus Bantu Atasi Akar Ekonomi di Balik Sound Horeg
Terkini
Lihat Semua