Warta

Maarif Minta Pemerintah Tingkatkan Keterlibatan Pesantren dalam Pendidikan

Rab, 5 Desember 2007 | 12:17 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU Dr. M Thoyyib meminta agar pemerintah meningkatkan keterlibatan pesantren dalam dukungannya terhadap peningkatan pendidikan di Indonesia.

Usulan ini merupakan sebagian dari beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari Program Sarjana dan Pemuda Penggerak Wajib Belajar (SP2WB) yang dilaksanakan oleh LP Maarif NU di 20 Kabupaten di 13 propinsi.

<>

“Pesantren bisa membantu menyediakan sarana belajar bagi anak-anak yang mau belajar tetapi tidak mempunyai waktu untuk sekolah regular,” katanya dalam workshop hasil SP2WP di Jakarta, Rabu (5/12).

Program SP2WB ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan angka partisipasi anak usia sekolah dalam rangka mensukseskan program wajib belajar 9 tahun. Saat ini Angka Partisipasi Kasar (APK) nasional untuk tingkat SD/MI baru mencapai 85.15 persen sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) hanya mencapai rerata 72.60 persen. Pada akhir tahun 2008, pemerintah menargertkan AKP sebesar 95 persen

Untuk tingkat SMP/MTs AKP baru mencapai 65.81 persen dan AKM sebesar 54.17 persen sehingga untuk mencapai target nasional, masih dibutuhkan peningkatan APK sebesar 29.19 persen.

Toyyib menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor paling dominan yang menyebabkan rendahnya partisipasi anak usia sekolah dalam pendidikan. Karena itu sebesar 50 persen masukan dari daerah-daerah meminta agar adanya beasiswa bagi siswa tidak mampu.

Persoalan lain yang ditemui adalah susahnya akses ke sekolah akibat jarak yang terlalu jauh. Hal ini terjadi terutama di daerah pedalaman dengan akses transportasi yang susah. Karena itu, diusulkan adanya Unit Sekolah Baru (USB) sebagai alternatif dalam upaya mengatasi transportasi yang jauh dari tempat tinggal siswa.

Edy Rahmat, salah satu tim dari LP Maarif menceritakan betapa susahnya untuk mencapai sebuah sekolah di Pulau Buru yang harus ditempuh dengan kapal laut selama sehari semalam dan jalan kaki tiga hari tiga malam untuk menuju sekolah. Demikian terpencilnya daerah ini sehingga para guru hanya bertahan sebulan mengajar, bahkan termasuk guru yang asalnya merupakan penduduk lokal.

Fasilitas sekolah juga merupakan persoalan yang harus mendapat perhatian dari pemerintah. Ini dikemukakan oleh 15 persen responden dengan permintaan ruang kelas baru atau laboratorium yang kurang memadai.

SMP Satu Atap juga dianggap sebagai langkah taktis dalam mengatasi masalah transportasi yang jauh dari sekolah, masalah ekonomi keluarga, anak yang tidak melanjutkan sekolah atau DO.

Beberapa usulan lain terkait dengan peningkatan kualitas guru, penambahan guru, perumahan guru, Paket A dan Paket B berbasis pesantren.

Daerah yang menjadi obyek program SP2WB adalah Tegal, Buru, Lebak, Sumenep, Buton, Bangka Tengah, Halmahera Tengah, Asahan, Sukamara, Polewali Mandar, Pekalongan, Rokan Hulu, Mamasa, Nias Selatan, Bulukumba, Kepahiang, Selayar, Tangerang, Sinjaidan Murung Raya. Penelitian dilakukan dengan mengambil sample di tiga kecamatan untuk setiap kabupaten dan dijalankan pada bulan Juli sampai November 2007 dengan melibatkan 980 tenaga.

“Ini merupakan upaya NU dalam membantu peningkatan pendidikan nasional. Kualitas pendidikan menentukan maju mundurnya suatu bangsa,” tandasnya. (mkf)