Warta

Lakpesdam NU Mesir Bedah Pemikiran Izzat Darwazah tentang Asbabun Nuzul

NU Online  ·  Sabtu, 9 Oktober 2010 | 05:12 WIB

Kairo, NU Online
Lembaga Kajian Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) yang bernaung di bawah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir menggelar kembali kajian reguler, 2 Oktober 2010 lalu. Tema yang diusung kai ini “Izzat Darwazah dan Tafsir Kronologisnya; Upaya Sadar Dialektika Teks dan Realitas”.

Presentator kali ini Abdul Mun’im Kholil, Pemimpin Redaksi Buletin Afkar. Diskusi yang diadakan di sekretariat PCINU Mesir, bilangan Mutsallas, Hayy 10, tersebut berlangsung meriah dan dihadiri oleh para anggota kajian lainnya.
/>
“Izzat Darwazah lahir dalam keluarga berekonomi menengah ke bawah sekaligus taat beragama.” Demikian Mun’im membuka presentasinya.

Muhammad Izzat Ibn Abd al-Hadi Darwazah lahir di kota Neblus, Palestina, pada tahun 1887 M, dan wafat di Damaskus, Syiria, pada tahun 1984 M. Sebagaimana tradisi ras Arab, beliau juga memberi kesaksian atas asal muasal keluarganya: berasal dari kota Aljloun, bagian Timur Yordania, kemudian hidup nomaden hingga akhirnya sampai di kota Neblus, palestina, 3 abad sebelum kelahirannya. Hal ini bisa dilacak pada buku Tarîkh al Jinsi al Arabiy, demikian rekan Mun’im mengelaborasi latar belakang tokoh ini.

Meski terlahir di keluarga kurang mampu yang membuat tokoh ini tak bisa melanjutkan kuliah, tapi Izzat Darwazah bukan orang yang gampang menyerah. Darwazah kemudian bersumpah untuk  menenggelamkan hidupnya dalam kubangan buku meski bukan di bangku kuliah. Tak ayal, sesuai pengakuannya, di umur 30 tahun sudah menelan lebih dari 1500 judul buku. Belum majalah, artikel dan tulisan-tulisan yang berserakan.

Berbagai varian buku--sebagaimana merujuk ke autobiagrafi Darwazah sendiri--sudah dibacanya: mulai dari klasik sampai modern; dari mulai karya ilmuwan Arab-Islam, seperti Mohamad Abduh dan Rashid Ridla melalui majalah Al Manarnya, tokoh kebangkitan dengan berbagai macam proyeknya, seperti Syakib Arsalan, George Zaidan, Syibly Syumail, Qosim Amin, hingga intelektual Barat, semisal karya Gustav Lobon, Herbert Spencer, Thomas Aquinas dll.

Meski Izzat Darwazah termasuk sosok yang sibuk dalam urusan politik praktis, tapi kondisi ini tak membuatnya kontra produktif. Terbukti puluhan buku berhasil ditulisnya. Bahkan diantaranya ada yang ditulis di dalam jeruji besi dan sebagian lagi ditulisnya ketika di pengasingan, Turki. Memang, sosok Darwazah menjadi target utama pihak kolonial masa itu, jadi tak heran kalau Darwazah berkali-kali dijebloskan ke dalam tahanan akibat keterlibatannya dalam pergerakan pro rakyat Palestina.

Izzat Darwazah menyelesaikan at-Tafsir al-Hadistnya ketika diasingkan ke Turki. Darwazah mengaku sangat dimanja oleh koleksi buku yang ada di perpustakaan dinasti Ottoman. Tafsir yang ditulis menurut kronologi turunnya ayat (asbab an-nuzul) itu terbilang sangat tebal dengan jumlah 12 jilid. Mungkin teori semacam itu baru pertama kali digagas dalam dunia tafsir. Ketekunan Darwazah menyisir asbab an-nuzul membuatnya peka terhadap realitas; ia ingin agar teks al-Qur’an bisa berdialektika dengan realitas senyata mungkin.

Ia juga berhasil menyingkap fenomena sejarah yang sebelumnya tak pernah disinggung oleh para penafsir klasik, semisal ketika Darwazah menyimpulkan bahwa ayat jihad yang turun di Madinah, umumnya, turun pasca perang. Itu artinya, Rasul SAW lebih berpijak pada ijtihad dan musyawarah dengan para sahabat ketika hendak berjihad.

Dengan asbab an-nuzul, Darwazah merasa lebih aman dari intrik politik dan ideologi ketika menafsirkan al-Qur’an. Ia menyayangkan gaya penafsiran al-Qur’an ulama konservatif yang terkesan menggiring al-Qur’an pada kepentingan pribadi maupun golongan, semisal tafsir al-Kassyaf yang beraroma Mu’tazilah dan al-Qurtubi yang Fikih-sentris. Hal ini, seperti diyakini Darwazah, adalah konsekuensi dari tercerabutnya teks dari konteks (baca: asbab an-nuzul).

Selain itu, asbab an-nuzul menjadi senjata paling ampuh untuk melumpuhkan argumentasi orientalis yang kerap menyerang diskursus keislaman secara serampangan. Semisal, ketika orientalis berapologi bahwa karakter Rasul banyak berubah ketika hijrah ke Madinah, di mana Muhamad memperbolehkan pengikutnya untuk mengangkat senjata, padahal ketika berada di Mekah, ia hanya mengajak para sahabat untuk toleransi dan mengenal ke-esaan Tuhan. Klaim orientalis semacam ini disebabkan keacuhan mereka pada kronologi turunnya ayat jihad. Padahal, jihad di Madinah diperbolehkan ketika melihat kondisi bangsa Yahudi dan kaum orang-orang Musyrik yang semakin menampakkan sikap ‘tak bersahabat’.

Darwazah tak hanya penafsir, tapi juga historian modern serta sosok nasionalisme sejati. Dalam diskursus historiografi, Darwazah termasuk historian fundamentalis. Pada saat menulis sejarah Rasul misalnya, Darwazah secara langsung menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan primer. Sebab, menurut Darwazah, referensi paling otoritatif dalam mendeskripsikan sosok sang Rasul adalah Al-Qur’an, yang tidak ekstrim (kanan-kiri) ketika memotret pribadi Rasul. Atau ketika mengekplorasi sejarah Yahudi, Darwazah akan merujuk ke Talmud secara langsung.

Sementara dalam politik, Darwazah cenderung terpengaruh oleh proyek Pan-Arabisme yang gawangi Syakib Arsalan, Abdurrahman al-Rafi’i dan Syibli Syumail. Ia tak mau bergabung dengan proyek Pan-Islamisme Afghani, yang dianggapnya sentimen golongan. Bahkan pada 1917 M, Darwazah sempat mendirikan “Yayasan Islam-Kristen Arab”. Ia juga dengan tegas menganjurkan agar Palestina bergabung saja dengan Syria, demi dekolonisasi tanah kelahirannya.         

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari masing-masing anggota Lakpesdam. Koordinator Lakpesdam, Ahmad Hadidul Fahmi, mengatakan, Lakpesdam selanjutnya akan berkonsentrasi pada penerbitan buku yang bertema “Kritik Pemikir Kontemporer.” (atj)