Cairo, NU Online
Islam tetap saja menjadi topik pembicaraan menarik bagi setiap kalangan, baik dari timur maupun barat. Beberapa abad yang lalu, kaum orientalis telah mulai mengkaji kebudayaan timur khususnya Islam. Bagi mereka, topik Islam menjadi menarik untuk diteliti. Karena, di samping sebagai agama, Islam menjadi ideologi yang mampu menggerakkan massa. Islam juga mempunyai hukum positif yang jelas membedakan dengan agama lainnya.
Ketertarikan ini juga datang dari dunia timur. Ahad malam (05/02/05) lalu PCINU Mesir kedatangan seorang sosiolog dari Jepang, Ken Miichi, Ph. D. Dia adalah seorang doktor dan peneliti dari Kyoto University Jepang yang mencoba menganalisa Islam khususnya di Indonesia. Ketertarikan Ken -begitu panggilan akrabnya- terhadap Islam di Indonesia berawal dari masih jarangnya wacana Islam di Jepang. Dan yang lebih menarik dari Islam di Indonesia, menurutnya, karena Islam di Indonesia penuh dengan wacana dan dinamika. Di Indonesia, dia menemukan corak Islam yang berbeda-beda. Dia menemukan Islam pergerakan baik yang radikal maupun yang moderat dan wacana Islam baik yang liberal dan maupun yang masih kental dengan tradisinya. Ketertarikannya menjadi bertambah ketika risetnya yang pertama mendapat sambutan hangat dari masyarakat Jepang.
<>Kedatangan Ken ke Mesir adalah untuk meneliti gerakan al-Ikhwan al-Muslimun dan kaintannya dengan Islam pergerakan di Indonesia. Di sela-sela kunjungannya tersebut, Lakpesdam PCINU Mesir mengundangnya untuk memberikan berdialog seputar risetnya mengenai Islam -dan tipologinya- di Indonesia. Acara sederhana ini diselenggarakan pada Senin malam (06/02/05) di sekretariat PCINU Mesir.
Dalam acara yang dihadiri sekitar 25 warga nahdliyin ini, Ken berbicara banyak tentang fenomena dan wacana keislaman yang berkembang di Indosesia dalam tahun-tahun terakhir. Penelilitiannya berangkat dari fenomena keagamaan yang berkembang di kampus dan LSM. Dia melihat ada dua corak ber-Islam yang cukup kentara di kalangan mahasiswa (intelektual muda), yaitu antara "islamisme" dan "liberalisme". Dia mendefinisikan "islamisme" sebagai paham yang memegang teguh nilai-nilai Islam dan upaya mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari bahkan menyentuh aspek politik. Yang unik dari Ken, dia tidak memakai istilah "fundamentalisme" untuk menyebut kelompok memegang teguh nilai-nilai Islam (Islam pergerakan), tetapi menggunakan istilah "islamisme". Karena, menurutnya, istilah "fundamentalis" -yang selama ini banyak dipakai- tidak mempunyai definisi yang paten dan jelas. Istilah ini lebih sering digunakan oleh orang-orang yang mempunyai sentimen terhadap Islam. Oleh karenanya, dia lebih suka menggunakan istilah "islamisme" daripada "fundamentalisme" yang kadang disalahartikan.
Kelompok ini sendiri mempunyai dua tipe, "islamisme radikal" dan "islamisnme moderat". Islamisme radikal tercermin dalam kelompok yang menginginkan penerapan syari'ah Islam dalam waktu dekat secara frontal (serentak). Mereka tidak mau mengerti apakah pendapat mereka diterima publik atau tidak Kelompok ini memandang bahwa penegakan syari'ah Islam dan khilafah Islamiyah sebagai perintah agama yang wajib hukumnya. "Mereka menginginkan negara Islam berdiri besok, bulan depan atau setahun kemudian", ujar sosiolog berumur 32 tahun ini. Sedangkan "islamisme moderat" mempunyai tujuan yang sama, namun memakai strategi yang lebih moderat, tidak frontal. Mereka mulai menghimpun massa dan mengajarkan "ideologi" mereka kepada publik untuk mewujudkan cita-cita mereka. "Mereka pandai dalam melihat keadaan, memanfaatkan simbol-simbol strategis masyarakat dan mereka lebih mengutamakan tujuan jangka panjang dari pada jangka pendek. Oleh karenanya mereka lebih banyak menyentuh dimensi sosial dan pendidikan di samping dimensi politik", tambahnya.
Kemudian, liberalisme menurut Ken tercermin dalam cara berpikir bebas dalam memahami agama. Kelompok ini cenderung didominasi oleh intelektual muda, khususnya intelektual NU yang tergabung dalam jaringan Islam Liberal atau P3M. Oleh sebab itu, topik NU menjadi sangat menarik dalam agenda penelitiannya.
Dalam diskusi sederhana tersebut, ada peserta yang menanyakan faktor apa yang menyebabkan intelektual muda NU cenderung berpikir liberal. Dalam pengamatannya, ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka berpikir liberal. Secara historis, kebanyakan warga NU adalah alumni pesantren atau hidup di sekitar pesantren atau hidup ala pesantren yang kental dengan tradisinya (wacana turats). Keterlibatan mereka dalam dunia akademik kampus dan LSM mengenalkan mereka wacana kekinian yang akhirnya membawa mereka ke wacana liberal. Di sisi lain, figur Gus Dur -sebagai santri yang juga berwacana liberal- juga ikut mempengaruhi pola pikir kaum muda NU.
Dari sisi psikologis, kaum muda NU yang umumnya mempunyai background pendidikan pesantren -yang tumbuh subur di desa-, setelah memasuki dunia akademis di universitas -yang umunya terdapat di kota- sangat tertarik dengan wacana baru yang belum pernah mereka dapatkan di pesantren. Wacana baru inilah yang membawa mereka berpikir bebas (liberal). Bahkan, seakan-akan terkesan ada semacam kejenuhan terhadap tradisi lama dan berganti dengan wacan
Terpopuler
1
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
2
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
3
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
4
Negara G7 Dukung Israel, Dubes Iran Tegaskan Hindari Perluasan Wilayah Konflik
5
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
6
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
Terkini
Lihat Semua