Warta

Koruptor Patut Dihukum Mati

NU Online  ·  Jumat, 6 Agustus 2004 | 07:48 WIB

Jakarta, NU Online
Pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum, mengatakan, para oknum pejabat negara yang terbukti secara hukum melakukan kasus tindak pidana korupsi patut dijatuhi hukuman mati. "Hukuman mati bagi para koruptor adalah salah satu cara tepat untuk menekan angka kebocoran uang negara akibat kasus korupsi. Karenanya, Indonesia sudah saatnya memberlakukan undang-undang yang mengatur secara tegas sanksi berupa hukuman mati kepada setiap koruptor," katanya seperti dikutip Antara di Medan, Jumat (06/8).

Penerapan sanksi pidana mati kepada setiap koruptor yang merugikan negara dan rakyat banyak tersebut diyakini akan dapat menimbulkan perasaan takut bagi setiap orang untuk melakukan korupsi.  Selama ini, menurut dia, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukuman terhadap pelaku kasus korupsi di Indonesia masih belum efektif menekan kasus korupsi, bahkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di era reformasi sekarang ini diperkirakan semakin meningkat dan bahkan sudah merasuk ke berbagai sendi kehidupan masyarakat banyak.

<>

Dampak buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi ini bukan hanya membuat negara dirugikan secara materiil, tetapi juga dinilai sebagai salah satu faktor penyebab lambannya upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan krusial bagi rakyat di negeri, seperti masalah kemiskinan dan angka pengangguran yang terus meningkat. "Dampak yang ditimbulkan oleh kasus kejahatan korupsi sebenarnya hampir sama dengan kasus narkoba, artinya sama-sama merugikan orang banyak. Jadi, setiap orang yang terbukti melakukan korupsi dinilai patut dihukum seberat-beratnya, dan jika perlu dihukum mati," ujarnya.

Melalui pemberian sanksi hukuman secara tegas dan seberat-beratnya kepada oknum pelaku kasus korupsi itu dipastikan akan sangat berperan menciptakan program pembangunan di negara ini nantinya berjalan lancar dan pada akhirnya turut mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.  Sebaliknya, kata dia, kalau praktek KKN masih terus berjalan tanpa ada upaya untuk menghentikan dan memproses secara hukum terhadap setiap oknum pelaku kasus KKN tersebut, dipastikan negara dan rakyat akan terus menderita dan lambat laun dapat menjadi pemicu terjadinya gejolak sosial.     

Sementara itu, hal senada juga diungkapkan kyai khos NU asal Langitan, KH. Abdullah Faqih,  menurutnya, sebaiknya koruptor diasingkan saja atau diisolasi dari masyarakat, karena kondisi bangsa sudah sedemikian runyam akibat korupsi. “Saat ini sudah tidak ada hukum yang adil karena semuanya pakai uang.” tegasnya beberapa waktu lalu.

Dari sudut pandang agama, kyai kharismatik yang sedang menjalani perawatan ini menjelaskan bahwa memakan harta korupsi atau harta yang haram sangat merugikan pribadi seseorang. Banyak makan makanan haram juga mengarah pada tindakan yang diharamkan, makan-makanan yang subhat juga mengarahkan pada perilaku yang subhat. “Barang siapa menghindari makanan subhat, maka ia membela agama dan kehormatannya. Sucikanlah makananmu karena makanan subhat membuat pikiran menjadi kotor,” ungkapnya.

Dalam hal ini, ulama hanya mendukung secara moral, sedangkan pelaksanaannya tergantung pada aparat. Dakwah tentang anti korupsi tersebut dapat dilakukan melalui khutbah Jum’at, pengajian-pengajian, penetapan hukum fikih, dll dan diharus dilakukan dengan cara-cara yang baik karena kalau dakwah dilakukan dengan cara-cara kekerasan, umat akan lari. Sebagai hukuman moral yang layak diberikan kepada para koruptor, pengasuh pesantren Widang Langitan Tuban tersebut juga mengemukakan bahwa sebaiknya para koruptor tersebut tidak usah disholati saja kalau meninggal, cukup satu modin saja sehingga dapat menjadi hukuman moral. (cih)