Warta

Kiai Said Minta MUI Tak Umbar Fatwa

NU Online  ·  Jumat, 1 Juli 2011 | 11:35 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj meminta agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengumbar fatwa dengan memenuhi semua permintaan masyarakat yang menginginkan fatwa dalam persoalan tertentu.

“Tak semua persoalan harus diselesaikan dengan menggunakan bahasa agama,” katanya, Jum’at (1/7).
<>
Sebuah fatwa, dikeluarkan ketika ada masalah yang belum jelas hukumnya, atau banyak pendapat dalam satu persoalan sehingga mufti mengambil satu pendapat yang paling mendekati kebenaran.

“Misalnya, banyak pendapat tentang syarat sahnya menikah, mufti mengambil pendapat Imam Syafii yang mensyaratkan adanya saksi,” katanya.

Jika fatwa diobral dengan mudah, menjadi tidak efektif dalam masyarakat. Ia mencontohkan, Mufti di Mesir setiap tahun hanya mengeluarkan fatwa untuk dua masalah saja, tak lebih.

Mengenai permintaan fatwa tentang TKW, Kiai Said setuju hal ini dibahas oleh MUI karena persoalan ini memang ada pembahasannya dalam agama, meskipun masih khilafiyah, apalagi dengan banyaknya fakta terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja di Timur Tengah.

Sementara untuk kasus BBM bersubsidi, ia kurang sependapat jika MUI sampai turun. “Siapapun yang masih waras, ingin BBM yang murah harganya, jika difatwakan haram, juga tak akan efektif,” paparnya.

Hari ini, MUI memberikan keterangan tentang polemik fatwa penggunaan BBM bersubsidi bagi orang kaya. Sekjen MUI Ichwan Syam menjelaskan, MUI belum pernah memfatwakan tentang persoalan tersebut.

Wacana tersebut merupakan statemen spontan KH Makruf Amin ketika ditanya wartawan seusai bertemu dengan Menteri ESDM Senin, 27 Juni. Ia ditanya, bagaimana hukumnya orang kaya yang memiliki mobil mewah tapi membeli BBM bersubsidi.

Dalam kesempatan tersebut Kiai Makruf Amin secara spontan menjawab sesuai aturan dari umaro (pemerintah), yang dibuat bersama DPR, subsidi BBM dialokasikan untuk golongan yang tidak mampu. Karena itu kalau ada orang yang mampu dan dia ikut menikmati bensin premium yang harganya disubsidi, itu sama dengan mengambil hak orang lain, yakni orang yang kurang mampu (dhuafa). Perbuatan ini tidak pantas, hukumnya ya dosa. Sama seperti orang kaya yang mengambil dana zkat yang bukan haknya. Persoalan kian melebar ketika orang yang tidak tahu duduk persoalan ikut nimbrung.

Penulis: Mukafi Niam