Warta

KH Muchit Muzadi: Beragama Dan Ber-sains Itu Beda

NU Online  ·  Selasa, 2 Oktober 2007 | 12:49 WIB

Jember, NU Online
Penciptaan manusia dilengkapi dengan akal agar manusia bisa berinisiasi, berpikir untuk kemajuan kehidupan. Kecenderungan akal adalah mencerna dan selalu mencari suatu kebenaran berdasarkan alasan-alasan yang rasional. Ketika rasionalisasi itu telah dicapai, maka manusia akan yakin bahwa sesuatu itu adalah benar adanya.

“Itu namanya ber-sains, tapi kalau beragama, lain”, tukas KH. A. Muchit Muzadi saat memberikan tausiah dalam acara memperingati Nuzulul Qur’an di masjid Sunan Kalijaga, Jember, kemarin malam (30/9).<>

Menurut Mbah Muchit, kalau orang ber-sains awalnya ragu-ragu, kemudian dicari dasar-dasar, kronologi dan sebagainya. Setelah itu didapat, maka baru dia yakin bahwa “temuannya” itu benar. Tapi dalam beragama, manusia tidak bisa menggunakan metode itu. Apapaun yang datang dari agama, maka harus diyakini dulu, baru ditelisik latar belakangnya.

“Misalnya puasa, harus diimani dulu, baru dicari alasannya mengapa Allah memerintahkan puasa. Orang yang berpuasa dengan mencari alasannya dulu, sebetulnya kurang etis, karena berpuasa bukan karena Allah, tapi karena dia tahu banyak manfaat yang terkandung dalam puasa," terang Mbah Muchit.

"Toh semua perintah dalam agama, terutama yang terkait dengan kemanusiaan, pasti ditemukan alasan rasionalnya.”

Dikatakannya, Allah telah mengatur begitu rupa dan merancang semua rencana-Nya dengan sangat rapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Semua yang datang dari Allah, baik itu perintah maupun larangan, semuanya demi kemaslahatan umat manusia. Contoh kecil adalah anjuran minum ASI bagi bayi. Dahulu, susu kaleng menjadi kebanggan kaum ibu karena dianggap higienis dan penuh gizi, tapi ternyata kemudian diketahui bahwa ASI-lah susu terbaik bayi.

“Padahal, Al-Qur’an sudah menjelaskan itu (soal ASI) sejak 14 abad yang lampau”, tuturnya.

Mbah Muchit juga menandaskan betapa agungnya Al-Qur’an. Selain sebagai petunjuk yang penuh dengan kebenaran, Al-Qur’an juga sebagai penutup kitab-kitab Allah. Karena itu, sampai-sampai timbul pertanyaan; bulan ramadhan menjadi agung karena di bulan inilah Al-Qur’an diturunkan, atau Al-Qur’an menjadi agung karena diturunkan di bulan ramadhan. Menurut Mbah Muchit, karena Al-Qur’an-lah sehingga bulan ramadhan menjadi agung.

“Itu sebabnya mengapa banyak orang memburu lailatul qadar, di mana Al-Qur’an pertama kali diturunkan”, cetusnya

Karena begitu agungnya, maka Allah yang menggaransi kelestarian dan keasrian isinya. Salah satu bentuk penjagaan itu, Allah memberi pahala kepada setiap orang yang membacanya meskipun tidak mengerti artinya.

Terkait dengan itu, Mbah Muchit mengaku heran dengan kelompok yang terlalu mengagung-agungkan metodologi sehingga mereka beranggapan bahwa membaca Al-Qur’an itu tidak ada gunanya kalau tidak tahu isinya. Sebab, kalau orang sampai tidak tertarik membaca Al-Qur’an lantaran tidak tahu isinya, lama-lama orang hanya akan membaca terjemahannya. Padahal untuk memahami arti dan maksud sebuah ayat tidak cukup hanya dengan tahu bahasa arab, apalagi hanya mengandalkan terjemahan.

“Alhamdulillah, sampai sekarang masih banyak orang belajar mengaji meskipun murid dan gurunya sama-sama tidak tahu isinya”, ungkapnya. (ary)