Jakarta, NU.Online
Marsilam Simanjuntak, Ahli Hukum Tata Negara mengatakan kerancuan konstitusi yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia dikarenakan tidak adanya konsistensi dalam penyusunan UU baik dalam teks maupun isinya, Undang-Undang yang dibuat hanya untuk kepentingan politik sesaat saja, dan mengesampingkan aspek-aspek keadilan.
Demikian diungkapkan Marsilam dalam Diskusi Bulanan NU Online, di Lt VIII Gedung PBNU, Jakarta (31/1). Diskusi dengan tema Kerancuan Konstitusi Dalam Perundangan-Undangan di Indonesia, di hadiri puluhan wartawan radio, cetak, maupun elektronik.
<>Menurutnya "Kerancuan konstitusi diakibatkan karena amandemen yang dilakukan berulang kali, dan tidak adanya pemahaman yang utuh, komprehensif dalam menafsirkan Undang-Undang,". Hal ini bisa dilihat dari produk-produk hukum yang dihasilkan dari beberapa pasal yang telah diamandemen, seperti pasal 50 UU no 24/2003.
Undang-undang tersebut berbunyi, "Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Artinya, yang bisa diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah 19 Oktober 1999 (penjelasan Pasal 50). Padahal, undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi ini adalah Undang-undang No.14/1985.
Menurut Marsilam Pasal 50 ini menganut apa yang disebut asas legalitas, yang mengatakan bahwa seseorang atau sesuatu perbuatan tidak boleh dihukum atau diadili dengan peraturan yang belum ada sebelumnya. "Tapi Mahkamah Konstitusi dengan Undang-Undang itu lain, UU itu bukan perbuatan, UU itu produk yang masih berlaku terus, jadi kalau UU salah meskipun di buat 10 tahun yang lalu tapi sekarang masih berlaku, Seharusnya dia masih bisa diuji oleh Mahkamah Konstitusi," tegas mantan sekretaris kabinet era pemerintahan Gus Dur.
Karena itu Marsilam mengakui walaupun banyak dari produk lembaga tinggi yang dihasilkan seperti Komisi Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, namun dengan Amandemen Konstitusi ini dimungkinkan suatu keadaan yang absurd (konyol), yakni pemerintah bisa split menjadi dua, menteri yang diutus oleh presiden untuk membahas UU menyetujuinya sedangkan presiden tidak menyetujuinya. "Hal yang seperti ini merupakan kerancuan di dalam konstitusi," tegasnya
Ketika ditanya pasal apa saja yang krusial untuk di dibahas oleh Mahkamah Konstitusi, ia mengatakan pasal 50 ini, karena pasal ini adalah yang bertentangan dengan konstitusi sendiri, dan yang pertama harus direview oleh Mahkamah Konstitusi adalah pasal 50 mengenai dirinya sendiri betapa "konyolnya" aturan yang saling bertentangan dengan hasil amandeman UU tersebut.
Oleh karena itu dirinya berharap, meski tidak sepenuhnya menjamin bahwa Mahkamah Konstitusi bisa berbuat banyak. Tapi dengan adanya Mahkamah Konstitusi tidak ada lagi dalih, pemerintah telah melaksanakan suatu kebijakan sesuai peraturan perundang-undangan, padahal hukum (undang-undang) yang digunakan itu sebenarnya tidak adil, diskriminatif dan menindas. Artinya, hukum yang tidak adil, menindas atau diskriminatif tidak akan bisa menjadi pelindung penguasa dalam melaksanakan kebijakannya. Semuanya harus diuji melalui MK. Demikian menurut penggiat Forum Demokrasi (cih)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
4
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
5
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua