Warta

Kepasrahan TKI Akibat Rendahnya Pendidikan dan Desakan Ekonomi

NU Online  ·  Kamis, 30 Oktober 2003 | 15:58 WIB

Jakarta, NU Online
Koordinator Solidaritas Buruh Migran Blitar (SBMB), Hafidz Lutfi menyatakan bahwa kepasrahan para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menjadi korban kebiadan majikannya selama di luar negeri akibat faktor masih rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya kebutuhan ekonomi.

"Akibatnya, walau pun mereka sampai teraniaya dan dirugikan, kebanyakan TKI enggan mempermasalahkan lebih jauh. Para korban hanya bisa pasrah dan menerima perlakuan buruk yang mereka dapatkan," katanya di Blitar, Jatim, Kamis.

<>

Menurutnya, kebanyakan mereka menjadi TKI lewat calo, yang kemudian menyerahkan lagi ke perusahaan sponsor. Setelah itu baru mereka diserahkan lagi ke PJTKI. "Dengan sistem terputus seperti itu sulit jika korban ingin menuntut keadilan," ujar Hafidz.

Kesulitan terjadi lantaran seringkali para calo maupun perusahaan sponsor tidak tahu PJTKI mana, yang akan memberangkatkan para calon TKI binaannya. Padahal pihak keluarga korban justru hanya mengenal para calo atau perusahaan sponsor tersebut. "Biasanya di setiap desa ada beberapa calo, yang rajin mencari calon TKI. Seorang calo dibayar perusahaan sponsor Rp500 ribu untuk satu orang calon TKI," beber Hafidz.

Di kabupaten Blitar setidaknya terdapat beberapa wilayah kecamatan, yang dikenal sebagai daerah pemasok calon TKI, seperti Wonodadi, Tambakrejo, Selorejo, Binangun, dan beberapa wilayah lain di Blitar bagian Selatan. Kebanyakan kasus yang sering terjadi antara lain TKI tidak dibayar, dilecehkan secara seksual, dan ditipu. 

Seperti yang dialami Muslimah (34), TKI asal Desa Salam, Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. Dia sempat dirawat bersama beberapa TKI lain di bagian kejiwaan rumah sakit (RS) Polri dr Soekanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, selama seminggu terakhir.

Walaupun demikian ibu dua anak itu mengaku tidak akan mempersoalkan penyiksaan serta penipuan, yang ia alami selama bekerja sebagai TKI di Oman, Arab Saudi. Muslimah mengaku cukup senang bisa kembali ke Blitar dan bertemu keluarganya. Selama dua bulan di Oman, Muslimah mengaku sempat dianiaya serta dilecehkan oleh dua orang majikannya.

Oleh majikannya ia diserahkan ke kantor perwakilan PJTKI (agency atau maktab). Namun ironisnya dia kembali menerima penyiksaan dari petugas maktab. Muslimah dipulangkan ke tanah air pada pertengahan Oktober dengan diantar seseorang yang tidak ia kenal hingga Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta.

"Sampai di Indonesia pun tidak tahu apa-apa. Cuma ada seorang pria berseragam mengajak dan membawa saya ke rumah sakit karena dianggap sakit akibat depresi," papar Muslimah.

Sebelumnya dia berangkat ke Oman, sekitar September 2003 setelah ditampung di PJTKI, PT Bandar Laguna, yang berlokasi di kawasan Condet, Jakarta Timur, selama tiga bulan. Untuk bekerja sebagai TKI, Muslimah harus merogoh koceknya sendiri sebesar Rp800 ribu kepada seorang calo. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari selama di penampungan ia mengeluarkan Rp1,5 juta.

Alamat Musliman di pasporpun dipalsukan menjadi Kampung Tugu RT 02/03 Sukaraja, Sukabumi, Jawa Barat. Kedatangan Muslimah di Blitar, Kamis siang disambut tangis oleh para kerabatnya yang menungguinya sejak tiga hari yang lalu.(mkf)