Warta

Kebijakan Nasional Tentang Buruh Migran Tidak Komprehensif

NU Online  ·  Selasa, 23 September 2003 | 14:43 WIB

Jakarta, NU Online
Nasib buruh migran Indonesia yang bekerja di berbagai negara sampai saat ini tak lepas dari berbagai penderitaan mulai penipuan, penganiayaan, tidak dibayarnya gaji, sampai dengan pengusiran.

Masalah yang dihadapi buruh migran juga berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya karena  sebagian bersifat lokal. Malaysia lebih menyukai buruh migran dari Indonesia karena sama-sama ras Melayu, tetapi banyaknya TKI tidak disukai oleh partai oposisi sehingga mereka tetap diusir, sedangkan di Jepang, masalahnya adalah berkaitan dengan UU yang melarang tenaga kerja asing sehingga diakali dengan model training. Namun demikian, banyak dari mereka yang bekerja di Jepang berusaha melarikan diri untuk memperoleh gaji yang lebih besar.

<>

Permasalahan tersebut bersifat menyeluruh mulai dari hulu sampai hilir dari  PJTKI, pemerintah, maupun TKI sendiri, dan masing-masing pihak saling menyalahkan. Misalnya pihak imigrasi tak mau tahu masalah dokumen, mereka mengeluarkan paspor sepanjang data mereka lengkap, dan tak mempermasalahkan asli atau palsu dari data tersebut karena hal itu dianggap urusan instansi lain.

Wahyu dari Kobumi dalam acara Diskusi Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia oleh Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU (23/09) mengemukakan bahwa harus ada dukungan infrastruktur yang penting terhadap buruh migran dalam bentuk pembuatan UU dan segala fasilitas pendukungnya.

Penanganan terhadap masalah TKI juga harus memperhatikan aspek budaya lokal dan tidak dapat hanya melakukan imitasi saja. Salah satu contoh adalah kegagalan dalam pembentukan terminal 3 yang dikhususkan untuk kedatangan TKI dari luar negeri yang meniru  Philipina, tetapi saat malah jadi tempat penipuan bagi mereka yang baru pulang karena tidak sesuai dengan kultur Indonesia.

Dalam hal ini keberhasilan JTKI bukah hanya pada jumlah yang buruh migran yang dikirimkan ke luar negari, tetapi juga pada kualitasnya, yaitu sedikitnya pelanggaran, keluhan yang dialami TKI, dll.

Tidak berdayanya para buruh migran ini juga disebabkan rendahnya tingkat pendidikan mereka. Sebagian besar pendidikan mereka rendah sehingga upaya pengenalan hukum atau pembelaan terhadap nasib mereka yang tertindas.

Untuk itu perlu juga diberdayakan bagaimana buruh migran mampu berserikat untuk memperbaiki nasib mereka yang selama ini terus ditekan sehingga memiliki daya tawar yang lebih tinggi.(mkf)