Maraknya kajian tentang gender yang selama ini dikampanyekan kepada kaum hawa patut diwaspadai. Banyak kasus menunjukkan kajian gender telah salah kaprah, bahkan menjadi penyebab utama beberapa perempuan mulai berani pada suaminya.
Demikian diungkapkan oleh Tri Marheni Pudji Astuti, Evaluator Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita dalam sebuah seminar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Minggu lalu.<>
Dalam acara bertajuk "Seminar Metodologi Penelitian Berperspektif Gender" ini,Tri Marheni mengatakan, "Banyaknya perempuan yang sering aktif mengikuti kajian Gender ternyata, kok malah setelah itu berani kepada suami, dan hal tersebut sering kali saya temukan dari beberapa teman."
Tri menjelaskan, sebagai akibat dari pemahaman yang salah mengenai gender, para perempuan mengidentikkan diri lebih tinggi dari laki-laki. Parahnya lagi pengertian ini dibangun dengan dasar agama yang cukup kuat.
"Padahal jika berbicara masalah gender tidak benar jika pembahasannya dibatasi hanya sebatas perempuan saja. Padahal gender itu adalah konstruksi sosial budaya," jelas Marheni yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (UNNES) ini.
Tri juga menambahkan, pengertian gender adalah upaya menyejajarkan kedudukan. Kesejajaran itu terletak pada pembagian peran antara pria dan wanita. Keduanya saling harus dibangun dengan saling menguntungkan, bukan saling mengalahkan.
"Hal seperti ini yang sering menjadi masalah dalam gender. Jika pengertian mereka gender adalah perempuan harus di atas laki-laki, apakah kemudian mereka ingin jadi sopir truk, atau kuli bangunan?" tanyanya.
Menurutnya, pembagian peran ini harus diperhatikan oleh para aktivis gender. Di mana upaya tersebut dibutuhkan dengan cara pemecahan bersama antara keduanya.
Bukan hanya persoalan gender saja yang dianggap mengalami pergeseran makna. Pengertian tentang emansipasi wanita juga mengalami hal serupa.
Menyinggung tentang Emansipasi, Tri menjelaskan, emansipasi sering dipahami perempuan pada umumnya sebagai kedaulatan yang harus diakui. Padahal, semestinya emansipasi lebih dikaitkan dengan sebuah pilihan peran dalam kehidupan.
"Emansipasi ini adalah sebuah pilihan hidup, jika ada perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, itulah emansipasinya. Sedangkan ketika dia memilih menjadi wanita karier juga merupakan emansipasi," tambahnya.
Lebih lanjut, Tri memberikan perbandingan sosial budaya untuk memahami pemaknaan gender. Menurutnya, penilaian kesejajaran antara pria dan wanita juga harus dilihat dari sudut pandang budaya maupun sosial.
"Jika di Bali, perempuan bisa bebas nauk gedung-gedung besar membersihkan kaca-kaca bangunan yang tinggi, namun hal seperti ini tidak ditemukan di Kudus. Hal inilah yang mestinya lebih diperhatikan dalam membahas gender," tandasnya. (min/JP)
Terpopuler
1
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
2
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
3
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
4
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persatuan Umat Lebih Utama dari Sentimen Sektarian
6
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
Terkini
Lihat Semua