Berlin, NU.Online.
Usaha memahami Islam tidak bisa dilakukan dengan konsep gerakan. Pasalnya, pemahaman seperti ini hanya akan memberikan penilaian salah dan memasukkan Islam sebagai kelompok radikal. Padahal, unsur radikalisme itu ada pada semua agama. Jika masyarakat agama tertentu berada dalam posisi dan kondisi lingkungan serta budaya yang ditekan dan ada ketidakadilan, maka radikalisme itu bisa saja muncul dalam agama apapun.
Hal ini disampaikan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam diskusi terbatas di Yayasan Hanns-Seidel dan di Freie Universitat Berlin Institut Fur Islamwissenschaften di Berlin, Senin (28/4). Diskusi yang dipandu oleh Academic Officer Hanns-Seidel Dr Rainer Glagow membicara persoalan Islam dan masyarakat Islam di Indonesia.
“Seperti yang terjadi di Timur Tengah, masyarakat Muslim di sana hampir setiap hari melihat dari dekat kekerasan yang terjadi di Palestina yang dilakukan oleh Israel, hal semacam ini mendorong simpati dan dukungan pada Palestina, sekaligua membenci Israel dan Palestina,” ujar Hasyim ketika berbicara
Menurut Hasyim, kalangan akademisi dan masyarakat awam di Eropa perlu merubah sudut pandangnya terhadap Islam. Harus ada perbedaan antara usaha memahami Islam sebagai pandangan hidup, dan gerakan. Usaha memahami Islam sebagai gerakan akan menyingkirkan faktor-faktor di luar agama Islam, padahal unsur lingkungan dan budaya sangat mempengaruhi.
“Pemahaman seseorang terhadap Islam berbeda kualitanya tergantung pemahaman teologi, kultural dan lingkungannya,” jelas Hasyim.
Menurut Hasyim, yang diharapkan oleh muslim di Indonesia bukanlah negara Islam tetapi masyarakat Islam. Jadi Islam dijadikan pegangan oleh masyarakat untuk mengatur perilakunya, dan bukan dijadikan hukum positif dalam negara yang akan mengatur seluruh warga bangsa.“Saya sendiri banyak melihat kehidupan dan perilaku Islami, meskipun masyarakatnya bukan muslim. Sebaliknya, saya pun banyak melihat kehidupan dan perilaku yang tidak Islami yang dilakukan oleh masyarakat muslim,” ujarnya.
Mengenai munculnya gerakan radikalisasi ummat Islam di Indonesia, menurut Hasyim disebabkan oleh pemahaman Islam yang masih rendah, dan belum disatukan dengan nasionalisme negara. Selain itu, juga dipengaruhi oleh konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Menurut Prof Gudrun Kramer dari Institut Fur Islamwissenchaften, Islam yang dipelajari dan diajarkan hanyalah sebagai pengetahuan dan bukan sebagai ajaran hidup. Namun, pada tingkat awal mahasiswa tetap diwajibkan untuk menguasai bahasa Arab dan memahami aturan hidup dalam ajaran Islam.
“Kalangan akademisi sudah tahu dan bisa membedakan dan melihat Islam sebagai pandangan hidup yang berbeda dengan gerakan. Namun, masyarakat awam tidak mudah untuk membedakannya. Meskipun, mereka sendiri tahu dari kalangannya sendiri ada juga yang radikal,” ujarnya. (Mam)
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
3
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
4
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
5
Pimpinan DPR Bantah Gaji Naik, tapi Dapat Berbagai Tunjangan Total hingga Rp70 Juta
6
Alokasi 44 Persen Anggaran Pendidikan untuk MBG Tuai Kritik, Disebut sebagai Kesalahan Besar Pemerintah
Terkini
Lihat Semua