Warta

Hukum Islam Dapat Dijadikan Sumber Hukum Tak Tertulis

NU Online  ·  Sabtu, 14 Agustus 2004 | 10:13 WIB

Jogja, NU Online
Hukum Islam dapat dijadikan sebagai sumber hukum tidak tertulis untuk pegangan hakim dalam proses mengambil keputusan hukum, kata Dirjen Pengembangan Agama Islam (Bagais) Departemen Agama A Qodri Azizy.

"Hakim yang memutuskan suatu perkara dengan mendasarkan pada keyakinannya dapat memperoleh inspirasi dari hukum Islam atau bahkan secara utuh dapat menggali hukum Islam," katanya pada temu alumni Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu.

<>

Menurut dia, hal itu penting bagi sistem peradilan yang mengakui kedudukan hakim sebagai sumber hukum atau menempatkan hakim untuk "menggali hukum tidak tertulis", sebagaimana istilah yang ada pada sistem hukum Indonesia.

"Menempatkan hukum Islam atau fiqih sebagai ilmu hukum Islam merupakan bagian dari ilmu hukum pada umumnya dan sekaligus merupakan materi hukum atau teori dalam hukum materiil," katanya.

Ia mengemukakan, ada hukum Islam yang mempunyai karakteristik sama dengan hukum umum, yakni memiliki sanksi sehingga sekaligus dapat dijadikan bahan untuk menjadi hukum positif atau mempunyai status yang berbeda namun dengan karakter yang sama.

Hukum Islam dapat menjadi sumber bagi hukum positif (peraturan perundang-undangan, putusan hakim dan ilmu hukum) terutama hukum tertulis. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dapat diperbandingkan atau dipertentangkan secara lugas dengan hukum positif, kecuali untuk beberapa aspek, baik secara materi maupun teori.

Ia mengakui, dalam bagian materi atau teori ada kemungkinan terjadi pertentangan, sebagai salah satu konsekuensi sumber yang berbeda, dan dalam waktu bersamaan hukum positif dapat berupa implementasi hukum Islam.

"Dengan demikian, hukum Islam dapat dijadikan sumber untuk hampir semua jenis hukum, baik dengan pendekatan normatif maupun budaya, asalkan dengan kajian akademik," katanya.

Ia mengatakan, usaha menjadikan hukum Islam sebagai hukum tertulis (UU) dapat ditempuh langkah menempatkan fiqih sebagai ilmu hukum Islam. Fiqih yang kaya dengan teori hukum secara materiil dapat menjadi sumber hukum secara bebas untuk penyusunan hukum tertulis.

Dalam waktu bersamaan, dapat dilakukan upaya menyusun fiqih dalam bahasa UU seperti yang telah dilakukan untuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jika KHI yang dimiliki itu memuat hukum keluarga seperti hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka untuk jenis hukum yang lain dapat dilakukan dengan metode yang sama, yakni dengan bahasa UU.

"Hal itu meliputi semua jenis hukum termasuk hukum pidana, dagang, dan perlindungan anak," kata A Qodri Azizy.(mkf/an)