Warta

Hasyim: Terorisme Jangan Dilihat Bomnya, Tapi Akarnya

NU Online  ·  Kamis, 4 Maret 2010 | 10:27 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mengemukakan agar tindakan terorisme yang masih menjadi ancaman di Indonesia tidak hanya dilihat dari peristiwa pengebomannya, saja tetapi akar ideologi yang mendasarinya harus menjadi perhatian secara serius.

Pendapat ini dikemukakannya dalam acara seminar sehari Reformasi Pandangan NU terhadap Terorisme yang diselenggarakan di gedung PBNU, Kamis (04/03).<>

Ideologi-ideologi yang cenderung melakukan tindakan terorisme merupakan ideologi transnasional yang tersebar dalam berbagai kelompok yang ingin memperjuangkan negara Islam atau khilafah islamiyah, tak peduli apapun caranya, meskipun dengan kekerasan.

“Mereka adalah gerakan politik keislaman international yang tidak menghitung nasionalitas warga bangsa,” katanya.

Namun demikian, Hasyim yang merupakan sekjen International Conference of Islamic Scholars ini menegaskan, antara perang dan teror hari dibedakan. Tindakan orang Lebanon kepada Israel tidak bisa dikatakan sebagai teror. Sama dengan orang Indonesia saat melawan penjajah. “Maka orang-orang yang melawan ketidakadilan itu tidak disebut teror,” terangnya.

Maka dari itu, siapa yang berhak mendefinisikan adanya perang harus jelas, karena ketika terjadi peperangan, hukum yang digunakan sudah berbeda. Dalam peperangan orang boleh membunuh musuh yang mengancam jiwanya sedangkan dalam kondisi damai, hal ini tidak diperbolehkan.

Sejauh ini, NU telah menegaskan bahwa ideologi nasional NKRI sifatnya sudah final dan syariat Islam tidak secara formal dimasukkan dalam UU, tetapi masuk dalam nilai. Sayangnya, upaya untuk menjaga keutuhan nasional saat ini menghadapi tantangan berat karena demokrasi yang overdosis menjadi democrazy sehingga menabrak hak orang lain.

Dijelaskannya, kelompok transnasional tidak bisa dilihat hanya sebagai kelompok fundamentalis, tetapi kelompok liberalis juga bisa digolongkan disini, hanya saja tuannya berbeda karena yang satu berasal dari Timur Tengah sedangkan satunya berasal dari Barat.

Kelompok liberal ini berusaha mereduksi upaya fundamentalisasi agama, tetapi kebablasan sehingga malah menumbuhkan tindakan fundamentalisasi kembali dengan alasan menjaga kemurnian agama dari upaya liberalisasi.
 
Liberalisasi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu struktural dan kultural. Jalur struktural salah satunya melalui pendidikan yang mindsetnya sudah ditentukan sedangkan liberalisasi kultural melalui tokoh-tokoh liberal yang selalu ada di setiap negara.

“Yang bisa membendung ini adalah NU karena NU merupakan kelompok moderat yang memegang jalan tengah,” tandasnya.

Kelompok liberal dan fundamentalis memiliki kelebihan karena mereka terorganisir dengan baik dan memiliki pendanaan yang mencukupi. Hal inilah yang menjadi tantangan NU yang selama ini selalu menghadapi kesulitan dalam urusan pendanaan.

Pesantren, yang selama ini memiliki kurikulum yang kuat dan terbukti telah menghasilkan orang-orang moderat belakangan ini juga menghadapi banyak gangguan. Persoalan-persoalan tersebut harus menjadi perhatian untuk mengokohkan keindonesiaan. (mkf)