Warta

Harus Ada Kata Sepakat Tentang Penentuan Awal Ramadhan

NU Online  ·  Kamis, 15 Juli 2010 | 03:01 WIB

Semarang, NU Online
Perbedaan penetuan awal puasa Ramadhan yang selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat, perlu ditepis. Pasalnya, hal ini mendorong timbulnya perpecahan antar umat Islam meski sebetulnya terjadinya perbedaan merupakan hal yang wajar dalam bermasyarakat.

Untuk menepis perbedaan itu, harus ada kata sepakat dan pedoman sama yang bisa diterima semua kelompok dalam penentuan awal puasa Ramadhan. Begitu pula dalam penentuan awal bulan Syawal (lebaran) dan Dzulhijjah.<>

Hal ini disampaikan Anggota Lajnah Falakiyah PBNU, KH Noor Ahmad dalam lokakarya imsakiyah Ramadhan 1431 Hijriyah yang diadakan Pusat Pengabdian Masyarakat IAIN Walisongo di Aula Gedung Rektorat, Rabu (14/7), seperti dikutip suaramerdeka.com.

Menurut Noor Ahmad, minimal ada dua kelompok yang tidak mudah disamakan persepsinya perihal penentuan awal puasa, yakni penganut rukyah fanatik, hisab urfi, dan hisab haqiqi. Bahkan, di kalangan pengikut hisab haqiqi, ada perbedaan pendapat. Meski pemerintah telah berusaha mengatasi perbedaan itu, ujar dia, tetapi ternyata perbedaan masih terjadi hingga kini.

"Untuk itu, perlu dilakukan upaya penanaman pemahaman yang sama terhadap fungsi serta kedudukan hisab dan rukyat. Jika dicermati, dua metode itu satu kesatuan. Hisab sebagai alat menghitung posisi bulan sebagai ancang-ancang rukyat. Rukyat sendiri merupakan sarana pembuktian dan pengecekan kebenaran hisab," kata dia.

Perbedaan Wajar

Narator Planetarium dan Observatorium Jakarta, Cecep Nurwendaya menerangkan, perbedaan awal Ramadhan sebetulnya wajar karena adanya penggunaan garis batas tanggal internasional dan garis batas bulan baru. "Gabungan kedua garis batas itulah penyebab setiap tanggal hijriyah yang sama, ada dua bahkan tiga hari masehi yang berbeda. Masing-masing penganut metode hisab punya keyakinan sendiri," katanya.

Dikatakan, untuk penentuan awal Ramadhan tahun ini, baru bisa dilihat pada 10 Agustus mendatang pukul 10.09, dengan umur hilal (bulan) 7 jam 46 menit 25 detik. "Saat bulan dan matahari berkumpul. Pusat rukyat ada di Pelabuhan Ratu. Namun, bisa dilihat dari beberapa wilayah pesisir pantai atau di tempat yang cukup tinggi menggunakan teleskop khusus," ujar Cecep yang juga anggota Badan Hisab Rukyah Kemenag RI.

Namun, bila hilal tak dapat dilihat sesuai waktu itu, kata dia, maka hilal setinggi 3 derajat 59 menit dapat dijadikan pedoman awal atau akhir Ramadhan. Fatwa ini dipakai pada kasus perbedaan yang penentuan Ramadhan yang ramai dipolemikkan tahun 1987 lalu. (sam)