Warta

Fatwa MUI Soal Bunga Bank Haram Terburu-Buru

NU Online  ·  Senin, 22 Desember 2003 | 06:29 WIB

Jakarta, NU Online
Rois Syuriah PBNU Prof Dr Said Aqil Siradj menyatakan bahwa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa bunga bank haram merupakan keputusan yang terburu-buru. "MUI bilang bunga bank itu haram, itu terburu-buru dan meresahkan," katanya, saat berceramah pada Halal Bihalal dan Silaturahmi di Yayasan Rouson Fikr, Jombang, Minggu.

Ia menyatakan MUI hendaknya tidak terburu-buru dalam mengeluarkan fatwa soal bunga bank tersebut.Menurut dia, penilaian masyarakat soal bunga bank masih beragam, sebagian ada yang menilai haram, ada yang menilai subhat (harus hati-hati) tetapi ada pula yang menghalalkannya. “Silakan saja masyarakat menilai itu," katanya.

<>

Said Aqil menegaskan bahwa sebaiknya MUI mengondisikan pembentukan bank-bank syariah. "Yang penting perbanyak saja bank syariah. Kalau menyimpan uang di bank syariah itu bermanfaat, menguntungkan dan aman pasti dengan sendirinya masyarakat akan menyimpan di bank syariah," kanya.

Ia mengatakan biarkan kesadaran masyarakat tumbuh dengan sendirinya mengenai penilaian soal bunga bank tersebut. Dalam ceramahnya Said Aqil juga menyebutkan empat semangat kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus tetap ada.

Pertama, katanya, semangat beragama dengan mendalami dan mengamalkan nilai-nilai agama apa saja yang dipeluk masyarakat secara baik. "Kalau saya Islam, bukan berarti benci dengan agama non Islam, tetapi harus mendalami dan mengamalkannya dengan baik," katanya.

Kedua, menurut dia, semangat untuk mencintai tanah air dengan mempertahankan wilayah, dan menjaga semangat nasionalis. Sementara yang ketiga adalah memperkuat semangat pluralis dengan menghormati orang lain yang berbeda latar belakang, disusul dengan semangat humanis yakni mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.

Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang beragam dan hal itu yang menjadi kekuatan serta modal utama yang harus dijaga. Ia menegaskan, di kalangan NU empat semangat itu pula yang tetap dijaga.

NU katanya juga sebagai organisasi tetap mempertahankan khittah 1926 yang tidak berpolitik. "NU besar itu karena tidak berpolitik, tetapi akan morat-marit bila sudah berpolitik dan ada yang dibagi-bagi," katanya. Oleh karena itu menurut dia, NU akan tetap menjaga jarak yang sama dengan Parpol manapun, meskipun secara individu warga NU bebas memilih parpol yang diinginkan.(mkf)